16/09/10

Behind the Mirror chapter: III

.
Summary: Apa kau tahu apa yang ada di balik cermin? Ketika kau tahu, bisakah kau mengingkarinya? CHAPTER III: ANOTHER WORLD: …Apakah yang ada dalam cermin?…
Disclaimer: Vocaloid belongs to Yamaha Corp.
.
BEHIND THE MIRROR
.
.
Aku ingin menjadi lebih kuat!
Aku ingin menjadi lebih hebat!
Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang kusayangi!
Aku ingin dunia melihatku!
.
Murasaki Sakura Presents:
BEHIND THE MIRROR
CHAPTER III: ANOTHER WORLD
…Apakah yang ada di dalam cermin?…
.
Suara ketukan pintu membangunkan anak lelaki berambut pirang yang sedang bergelung malas dibalik selimutnya. Anak lelaki itu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Kemudian anak lelaki itu mengucek matanya sebentar dan menuruni tempat tidurnya. Lalu dia berjalan malas ke arah pintu kamarnya dan perlahan membukanya. Tampaklah seorang anak perempuan berambut pirang dengan bando berpita menghiasi kepalanya.
“Pagi, Len.” sapa gadis itu ramah. Si pemilik nama hanya menggaruk rambut jabriknya yang juga berwarna pirang dengan malas. “Tumben kau bangun telat,” imbuh si gadis
“Hmm… Oh ya?” sahut anak lelaki yang bernama Len itu. Gadis bernama Rin itu menganggukkan kepalanya
“Sekarang, cepat bersiap! Kita akan pergi ke rumah Miku lagi!” seru Rin dengan penuh semangat
“Hm? Iya… Iya…” kata Len dengan malas. Kemudian Rin berjalan meninggalkan Len yang masih setengah sadar berdiri di ambang pintu kamarnya.
.
.
Len berjalan dengan langkah malas menuju kamar mandi. Dia masih memikirkan tentang bayangan di pantulan cermin yang dilihatnya kemarin. Dia mencoba mengingat-ingat rupa anak lelaki berambut hitam yang dilihatnya di cermin kemarin. Tapi sayangnya Len hanya mampu mengingat anak lelaki itu dengan samar. Len hanya mengingat rambut hitam kelam milik anak itu yang sepanjang rambut pirangnya jika tergerai, juga mata kuning milik anak itu yang menatapnya dengan pandangan menusuk, serta kemeja hitam tak berlengan yang dikenakan anak lelaki itu. Dia tidak mengingat detil lainnya tentang anak itu. Tapi entah mengapa Len merasa bahwa anak berambut hitam itu sangat mirip dengan dirinya. Tanpa terasa anak lelaki berambut pirang jabrik itu sudah sampai di depan pintu kamar mandi. Dia membukanya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi itu.
Len berjalan ke arah wastafel. Lalu dia menyalakan keran dan mencuci mukanya. Len mengambil handuk putih yang tergantung di balik pintu kamar mandi dan mengeringkan mukanya yang basah. Kemudian Len mengambil sebuah sikat gigi berwarna kuning dan pasta gigi rasa mint. Sesaat kemudian Len sibuk menyikat giginya sambil memandangi cermin yang ada di depannya. Pikirannya melayang kembali ke bayangan anak lelaki misterius berambut hitam yang dilihatnya kemarin. ‘Siapa ya anak itu? Apa itu hanya halusinasiku saja?’ pikir Len. Len meludah ke wastafel dan berkumur, tapi pikirannya belum juga beranjak dari apa yang dilihatnya kemarin.
Ditatapnya cermin di hadapannya dengan setengah hati. Lalu Len memejamkan matanya dan menghela nafas. “Itu hanya halusinasi,” katanya pada diri sendiri dengan tegas. Setelah itu dibukanya kedua mata sapphirenya lagi. Betapa terkejutnya Len ketika mendapati sepasang mata kuning tengah menatapnya dari balik cermin—persis kemarin. “HUWAAAAAAAAA!!!!” seru Len
Tubuhnya yang terjengkang ke belakang mendarat dengan kasar di atas lantai keramik kamar mandi yang keras. Dikuceknya kedua matanya, kemudian diarahkannya pandangannya ke cermin itu—hanya untuk memastikan apakah bayangan itu halusinasinya atau bukan. Ternyata Len sama sekali tidak berhalusinasi, buktinya anak lelaki sebayanya dengan rambut jabrik berwarna hitam kelam dan mata kuning tengah menatapnya dari balik cermin yang tergantung di dinding kamar mandinya.
Len berdiri dengan perlahan-lahan sambil menjadikan kloset yang ada di dekatnya sebagai pegangan. Dengan sebelah tangan memegang pinggiran kloset dan sebelah tangan memegang dadanya, Len berdiri. Setelah beberapa detik menenangkan diri, Len kembali mengarahkan pandangannya ke arah cermin. Bayangan anak berambut hitam dan bermata kuning itu masih tetap di sana. Memandangnya dengan tatapan matanya yang menusuk. Perlahan-lahan Len melangkahkan kakinya ke arah cermin itu.
TOK TOK TOK
Suara ketukan pintu yang cukup keras membuat Len sedikit kaget. Dia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terkunci rapat. “Len, ada apa?!” seru Neru dari luar
“Hah? T-tidak ada apa-apa!” jawab Len balik berteriak
“Kau yakin?” tanya Neru
“Yeah,” sahut Len
“Baiklah…” kata Neru sebelum terdengar suara langkah kaki yang menjauh. Len membuang nafas dan kembali menoleh ke arah cermin. Namun, lagi-lagi bayangan anak berambut hitam itu lenyap begitu saja digantikan bayangan dirinya yang berambut pirang jabrik dan bermata sapphire. Lagi-lagi Len mengucek matanya dan mencari-cari bayangan anak lelaki asing itu. Tapi bayangan itu tak juga ditemukannya. Akhirnya Len menyerah dan memutuskan untuk segera mandi.
.
.
Lima orang remaja sedang duduk-duduk di sebuah ruangan bernuansa hijau yang penuh dengan rak-rak buku yang menjulang tinggi. Mereka sibuk memperbincangkan hal-hal yang mereka temui kemarin di gudang.
“Kau tahu? Seperti yang kubilang kemarin, sepertinya aku sedang sial!” seru Mikuo setelah menghela nafas
“Yeah, aku juga. Aku sama sekali tidak menemukan hal menarik kecuali bola kaca itu.” timpal Kaito
“Sepertinya kali ini kita juga tidak menemukan benda menarik, ya kan, Rin?” tanya Miku. Rin mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. “Ya, hanya dua topeng itu saja,” timpal Rin
Len memandangi kembaran dan ketiga temannya tengah sibuk dengan cerita tentang pengalaman mereka masing-masing di gudang Keluarga Hatsune kemarin. Pikirannya lagi-lagi melayang ke bayangan anak laki-laki berambut hitam yang sempat dilihatnya tadi pagi. Dibiarkannya bayangan anak laki-laki itu memenuhi benaknya. Suara-suara Mikuo, Miku, Kaito, dan Rin pun terdengar semakin jauh dan jauh.
“Kurasa kita semua sedang sial kemarin!” Mikuo menyimpulkan
“Mungkin,” Kaito menganggukkan kepalanya, diikuti Miku dan Rin
“Bagaimana denganmu, Len? Apa kau menemukan sesuatu yang menarik? Seingatku kau belum menceritakan apa-apa sejak kemarin.” tanya Mikuo. Len masih membiarkan pikirannya melayang ke bayangan anak lelaki misterius itu
 “Len?” panggil Mikuo. Len belum juga memberikan respon
“Hei, Len!” panggil Kaito sambil menepuk pundak Len. Len yang kaget langsung terlonjak
“E-eh? A-apa?” tanyanya kebingungan
“Kau ini… sedang melamun ya?” tanya Rin
“Kurasa,” Len mengangkat bahunya
“Jadi, apa kau menemukan sesuatu yang menarik?” Mikuo kembali mengulang pertanyaannya
“A-aku,” Len sedikit terbata, “Mungkin, aku menemukan sesuatu yang menarik…” gumam Len
“Benarkah? Apa itu? Kenapa kau tidak membawanya ke sini?” tanya Miku dengan antusias
“Tapi, aku sendiri tidak yakin, apakah itu bisa dibilang menarik atau tidak.” kata Len ragu-ragu
“Memangnya benda apa sih itu?” tanya Kaito
“Cermin,” gumam Len
“Apa?”
“Cermin,” ulang Len dengan suara yang lebih keras
“Cermin? Cermin apa?” Mikuo menatapnya dengan tatapan penuh tanya
“Lebih baik kita pastikan dulu,” kata Len sambil berdiri dari sofa yang didudukinya
“Baiklah,” Mikuo mengangguk. Mereka berlima pun meninggalkan perpustakaan bernuansa hijau itu dan mulai berjalan di lorong-lorong panjang menuju gudang Keluarga Hatsune.
.
.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?” tanya penjaga berambut merah yang ditemui Rin dan Len kemarin, Kasane Ted
“Apa kau yang menyimpan kunci gudang lama?” Mikuo bertanya balik padanya
“B-bukan saya. Sora yang menyimpannya, Tuan.” jawab Ted sambil membetulkan letak kacamatanya
“Lalu dimana Suiga?” tanya Mikuo lagi
“Tadi dia izin sebentar untuk menemui Momo,”
“Begitu ya… Terima kasih, Kasane.”
“Sama-sama, Tuan,” Ted membungkuk pada kelima orang yang ada di hadapannya sebelum kelima orang itu beranjak pergi.
.
.
Mikuo berjalan di paling depan, memimpin teman-teman dan adiknya untuk mencari penjaga bernama Suiga Sora. Mereka berjalan di sepanjang lorong panjang yang juga bernuansa hijau, melewati banyak pintu kayu yang ukurannya besar-besar. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah tangga dari batu marmer putih. Kemudian mereka berlima menuruni tangga itu menuju ke lantai bawah atau sebut saja basement.
Setelah menjejakkan kaki di anak tangga terakhir, mereka dapat melihat banyak maid dan butler yang berlalu-lalang, mereka semua terlihat sibuk. Ada yang menenteng nampan kosong, ada yang membawa troli besi berisi berbagai makanan, ada yang sibuk menenteng ember dan alat pengepel serta sapu, tapi ada juga yang mondar-mandir dengan tangan kosong. Mikuo menghampiri seorang maid berambut merah panjang. “Namine, apa kau melihat Momone?” tanya Mikuo pada gadis itu
“Tidak, tuan. Maaf,” maid itu membungkuk pada Mikuo dan langsung bertanya pada temannya, “Hei, Uta, kau lihat Momo?” tanya maid yang dipanggil Namine itu pada seorang maid lain berambut ungu
“Momo?” maid itu menoleh
“Ya,”
“Kalau tidak salah tadi pergi ke arah sana bersama Sora. Memang ada apa Ritsu?” jawab maid berambut ungu yang dipanggil Uta itu sambil menunjuk ke arah lorong yang bercabang ke kiri
“Tuan Mikuo mencarinya.” bisik Namine Ritsu pada si rambut ungu. Sedangkan maid berambut ungu itu hanya mengangguk-angguk
“Ke sana?” Mikuo kembali memastikan jawaban maid itu
“Ya, tuan muda,” maid bernama Uta itu mengangguk
“Baiklah, terimakasih, Utane.” Mikuo mengangguk singkat. “Terimakasih, Namine,” tambah Mikuo sambil tersenyum pada kedua maid itu
“Sama-sama,” balas kedua maid itu bersamaan
Kemudian Mikuo, Miku, Kaito, Rin, dan Len pun meninggalkan kedua maid itu dan berjalan ke arah lorong yang ditunjuk oleh maid berambut ungu bernama Utane Uta tadi.
.
.
Tampaklah seorang gadis yang kelihatannya seumuran dengan Miku. Rambutnya yang berwarna merah muda tergerai di punggungnya, baju maid yang dikenakannya tampak rapi, dan nampan kayu yang dibawanya diletakkan di depan perutnya. Gadis itu tengah mengobrol dengan seorang anak lelaki yang kira-kira seumuran juga dengannya. Rambutnya yang berwarna orange mengingatkan Rin pada jeruk kesukaannya. Seragam penjaga anak lelaki itu sama dengan seragam penjaga yang dikenakan penjaga bernama Kasane Ted—berwarna hitam dengan aksen merah marun di beberapa bagiannya. Sebuah gantungan kunci berbentuk bulat yang penuh dengan rencengan kunci yang terkadang sibuk bergemerincing tergantung di pinggangnya. Kedua orang yang sedang bercakap-cakap itu langsung berpaling ke arah lima orang yang baru saja datang.
“Ah! Tuan Mikuo! Nona Miku!” seru maid itu, kemudian dia dan penjaga berambut orange itu langsung membungkuk dalam-dalam
“Momone, boleh aku pinjam Suiga sebentar?” tanya Mikuo dengan tenang
“Eh, ah, s-saya, m-maksud saya, tentu saja boleh!” seru maid itu tergagap. Kemudian anak lelaki berseragam penjaga itu menghampiri Mikuo yang sudah maju beberapa langkah dari tempatnya.
“Ada apa, tuan?” tanya penjaga itu
“Aku hanya ingin pinjam kunci gudang lama.”
“Kunci gudang lama?” penjaga yang dipanggil Suiga itu memandang Mikuo dan teman-temannya dengan tatapan bingung. Mikuo mengangguk.
“Sebentar,” penjaga itu mengambil gantungan kunci berbentuk bulat yang dipenuhi rencengan kunci dari pinggangnya, kemudian memilah satu-persatu kunci itu sampai akhirnya dia menemukan sebuah kunci berwarna perak yang diberi nomor 258. Setelah melepas kunci dari gantungannya, penjaga itu memberikan kunci itu pada Mikuo. “Silahkan, tuan,”
“Terimakasih, Suiga.” Mikuo mengangguk singkat pada penjaga itu. Penjaga itu membalasnya dengan membungkuk dalam-dalam. Setelah penjaga itu bangun, Mikuo kembali berjalan ke arah keempat temannya, kemudian mereka pun melangkah pergi meninggalkan maid berambut pink itu dengan penjaga berambut orange itu.
.
.
Kaito dan Len menyimpan rantai dan gembok yang mengunci gudang lama keluarga Hatsune di samping pintu sementara Mikuo mencoba membuka pintu kayunya. Sekali lagi pintu itu terbuka, menampakkan beberapa barang yang penuh debu yang teronggok di dalamnya. Mereka saling berpandangan seakan saling bertanya siapa yang akan masuk duluan. Tapi, karena tidak mendapat jawaban, Mikuo memutuskan untuk berjalan duluan. Beberapa saat kemudian, mereka berlima sudah masuk ke dalam gudang gelap itu.
Rin merapatkan tubuhnya pada Len yang berada di sampingnya, Miku juga melakukan hal yang sama, yaitu merapat pada Len. Sedangkan Kaito hanya terkikik geli memandang kelakuan kedua anak perempuan itu dari belakang dan Mikuo yang memegang senter biru milik Kaito memimpin di depan. “Miku, apa kau tidak membawa senter lagi?” tanya Kaito
“Tidak. Maaf, aku lupa,” kata Miku
“Tidak apa-apa kok,” Kaito tersenyum sambil menepuk kepala Miku. Miku hanya tersenyum
“Jadi, apa yang kau temukan, Len?” tanya Mikuo setelah menolehkan kepalanya untuk menatap Len
“Sudah kukatakan, sebuah cermin.” jawab Len
“Dimana tepatnya cermin itu?” tanya Mikuo lagi, kemudian menyerahkan senter biru yang tadi dipegangnya kepada Len. Len mengambil senter itu dengan ragu, kemudian maju beberapa langkah.
“Kemari, ikuti aku,” kata Len pelan. Semua menganggukkan kepalanya dan mulai berjalan di belakang Len.
.
.
Len mencoba mengingat-ingat jalan yang dilaluinya kemarin. Namun karena banyaknya barang dan kurangnya cahaya, Len menjadi sedikit bingung. Diarahkannya senter di tangan kanannya ke segala arah, mencoba mencari jalan yang benar. Sedangkan keempat orang yang berjalan di belakangnya hanya mengikuti langkah-langkah kecilnya dalam diam.
Tiba-tiba sesuatu melintas di dekat kaki Miku dengan cepat, membuat gadis berkucir dua itu menjerit ketakutan, “KYAAAAAAAAAA APA ITU?!!” Miku langsung berlari kea rah Kaito yang ada di belakangnya dan memeluk lengannya
“Tenang saja, Miku, mungkin itu hanya tikus,” kata Kaito santai sambil sedikit terkikik geli. Mendengar hal itu, Len langsung menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang melihat teman-temannya. Sedangkan Rin langsung merapat pada Mikuo yang berjalan sedikit di depannya.
Miku mencubit lengan Kaito “Aw! Aduh, kau ini apa-apaan sih, Miku?” tanya Kaito sambil mengusap-usap bagian lengannya yang tadi dicubit Miku
“Jangan menakut-nakutiku!” Miku menggembungkan pipinya sedikit
“Hehehe maaf. Tapi aku tidak menakut-nakutimu kok!” Kaito menampakkan cengiran khasnya
“Hmph!” Miku kembali menggembungkan pipinya
“Hei, sudahlah. Kalian ini apa-apaan sih?” tanya Mikuo. Miku dan Kaito saling berpandangan, kemudian mengangkat bahu mereka bersamaan
“Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan,” kata Mikuo sebelum menepuk pundak Len singkat. Len mengangguk dan mulai berjalan lagi.
Mereka terus berjalan diantara barang-barang bekas yang tertutup kain putih dan tumpukan debu di sana-sini. Tak ada suara di sana kecuali suara langkah kaki dan suara nafas mereka sendiri—juga terkadang suara bersin Mikuo. Keempat orang itu kecuali Len sedang sibuk menebak-nebak cermin seperti apakah yang menarik perhatian Len.
“Ke sini,” bisik Len sebelum dia berbelok menuju celah kecil diantara sebuah meja kayu yang tertutup kain putih dan sebuah lemari kayu tua yang sangat besar dan berat. Keempat orang lainnya hanya mengikuti arah langkah kaki Len tanpa menjawab. Len kembali memainkan senternya, mencari-cari dinding gudang. Dan dia menemukannya. Anak lelaki bermata sapphire itu sedikit mempercepat langkahnya menuju ke pojok gudang itu. Kemudian berlari dengan cukup cepat.
“Hei, Len! Tunggu!” seru Rin. Tapi Len tidak bisa menunggu. Anak lelaki itu masih sibuk dengan pikirannya tentang bayangan misterius yang sudah dua kali dilihatnya. “LEN!!” panggil Rin lagi. Lagi-lagi Len tidak menjawab. Rin hanya menggelengkan kepalanya sedikit sebelum mempercepat langkahnya juga. Sedangkan yang lainnya hanya memerhatikan anak kembar itu, kemudian ikut mempercepat langkah juga. Akhirnya Len sampai di pojok ruangan. Dia mengarahkan senternya ke berbagai arah untuk mencari pantulan cahaya dari senternya seperti yang dilihatnya kemarin. ‘Ketemu!’ batinnya. Len beranjak dari tempatnya dan mendekati cermin itu.
Dia mengamati setiap detil cermin itu yang dilewatkannya kemarin. Ternyata itu adalah cermin yang sudah cukup tua. Cerminnya sudah tidak jernih lagi—tapi sedikit kusam karena usia. Pinggirannya pun dipenuhi ukiran-ukiran yang rumit yang dipenuhi debu. Dan kain putih kusam yang menutupi cermin itu kemarin masih teronggok di depan cermin itu.
Pandangan Len kembali jatuh pada cermin itu. Dia menatap bayangannya lekat-lekat. Normal. Anak lelaki berambut pirang dikucir dengan poni berantakan, mata sebiru langit, mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang dilipat sampai siku, vest cokelat muda yang terlihat sedikit acak-acakan, celana hitam selutut, dan ikat pinggang berwarna hitam-kuning. Ya, yang dilihatnya adalah bayangan dari Kagamine Len, bukan bayangan anak lelaki dari anak lelaki misterius itu.
Len menutup matanya dan membuang nafasnya dengan lega. ‘Jadi itu memang hanya halusinasiku saja…’ batinnya lega. Anak lelaki berambut berambut pirang itu kembali membuka matanya dan tersenyum kecil ‘Kurasa aku hanya kecapekan karena membantu membereskan kebun Dell dan jadi berhalusinasi tentang anak itu,’ Len meyakinkan dirinya
“Len!” suara Rin membuyarkan pikiran Len. Si pemilik nama menoleh ke arah sumber suara dan dilihatnya empat orang temannya sedang berlari ke arahnya
“Kau ini mengagetkan kami saja! Ada apa? Kenapa tiba-tiba berlari seperti itu?” tanya Kaito
“Maaf,” kata Len
“Dimaafkan. Tapi lain kali jangan membuat kami kaget ya!” sahut Miku dengan senyum. Len menganggukkan kepalanya
“Jadi?” tanya Kaito lagi
Len menoleh kearah Kaito dan mengangguk lagi. Dia menunjuk ke arah cermin yang ada sebelah kanannya.
“Ini cermin yang kau bilang itu?” tanya Mikuo
“Yeah. Tapi kurasa tidak semenarik kemarin. Kurasa aku hanya berhalusinasi,” jawab Len. Sepertinya kalimat terakhir Len cukup untuk membuat Rin dan Miku saling pandang dengan tatapan penuh tanya
“Coba pinjam senternya,” kata Mikuo. Len menyerahkan senter biru di tangannya pada Mikuo. Kemudian remaja berambut aqua itu mengarahkan cahaya senternya ke cermin yang ditunjuk Len.
“A-apa?!!” serunya kaget. Matanya terbelalak kaget menatap pantulan cermin yang tampak di matanya
“Ada apa?” tanya kaito sambil menepuk pundak Mikuo
“I-itu…” Mikuo tergagap, tapi tangannya menunjuk ke cermin yang berada di samping kanan Len
“Mustahil!!” seru Kaito. Seruan Kaito membuat Rin dan Miku menatap cermin itu juga. Seketika mata mereka terbelalak ketika melihat bayangan yang terpantul di cermin
“Ada apa sih?” tanya Len pada teman-temannya yang masih tercengang. Sunyi, tak ada yang menjawab.
Karena tak mendapat jawaban, Len menoleh ke arah cermin itu. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan bayangan misterius yang menghantui pikirannya sejak kemarin kembali terlihat. Len dapat melihat rambutnya yang hitam mencapai bagian belakang tengkuknya, juga mata kuningnya yang menusuk, kemeja hitam tak berlengannya, dan dasi putih yang melilit rapi di lehernya. Len memutar tubuhnya menjadi menghadap cermin—begitu pula bayangan anak misterius itu. Len mengangkat tangan kanannya, anak itu mengangkat tangan kirinya. Len menggerak-gerakkan tangan kanannya, anak itu menggerak-gerakkan tangan kirinya. Len memiringkan kepalanya ke kiri, anak itu memiringkan kepalanya ke kanan. Lalu perlahan-lahan disentuhnya permukaan cermin itu dengan menggunakan telapak tangan kanannya, anak itu juga menyentuh permukaan cermin menggunakan telapak tangan kirinya dengan perlahan. Permukaan cermin terasa dingin di kulit Len yang hangat. Namun tiba-tiba rasa dingin itu hilang digantikan oleh rasa hangat. Len terbelalak kaget, sedangkan anak misterius itu hanya tersenyum simpul. Len menarik tangannya lagi dan kembali menatap mata kuning anak itu.
“Len… itu…” bisikan Rin membuyarkan segala pikiran yang berkecamuk di otak Len. Anak lelaki berambut pirang itu menoleh pada saudari kembarnya.
“…siapa?” sambung Rin. Len terdiam. Rin maju selangkah demi selangkah dan mulai mendekati saudara kembarnya yang masih terpaku di depan cermin itu. Seiring dengan langkah Rin yang semakin mendekat, Len kembali memandang permukaan cermin yang menampakkan bayangan anak misterius itu.
Rin berdiri dengan ragu disamping saudara kembarnya dan merapatkan diri padanya. “Len…” bisik gadis itu
Si pemilik nama menaikkan sebelah alisnya ketika melihat ruang kosong di sebelah bayangan misterius itu, tempat dimana seharusnya Rin berada.
“Rin, kenapa bayanganmu tidak ada?” bisiknya
“A-apa?!” Rin mengucek matanya dan berjalan mendekati cermin. Namun hasilnya tetap sama, bayangan Rin tak juga muncul di cermin itu. Gadis berbando itu menoleh ke belakang, mendapati teman-temannya sedang berdiri di belakangnya dan saudara kembarnya. Tapi, tidak ada bayangan mereka di cermin itu. Cermin itu hanya memantulkan bayangan anak misterius yang harus Rin akui bahwa mirip dengan Len. Bayangan anak misterius dalam cermin itu menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang putih.
Len menggelengkan kepalanya. ‘Apa ini masih salah satu dari halusinasiku?’ batinnya
Lagi-lagi Len menjulurkan telapak tangan kanannya dan disentuhnya permukaan cermin dengan tangannya itu. Bayangan anak itu juga melakukan hal yang sama, tappi menggunakan tangan kirinya. Len dapat merasakan permukaan dingin cermin itu, tapi sama seperti sebelumnya tiba-tiba rasa dingin itu berubah menjadi hangat. Seakan-akan Len sedang menyentuh kulit makhluk hidup yang masih bernafas, bukannya permukaan cermin.
Bayangan anak lelaki misterius itu menarik tangannya menjauh dari permukaan cermin, membuat Len kembali merasakan dinginnya permukaan cermin. Len melakukan hal yang sama sambil memandangi anak itu dengan penuh tanya. Sedang anak itu sama sekali tidak menjawab pandangan itu, dia hanya mengepalkan tangan kirinya. Len menaikkan sebelah alisnya, pertanda bahwa dia sangat bingung. Perlahan anak itu membuka kepalan tangan kirinya dan mengisyaratkan Len untuk menghampiri dirinya. Len hanya diam di tempatnya. Dia sama sekali tidak yakin akan apa yang harus dilakukannya.
“Len,” Mikuo menepuk bahu anak lelaki pirang itu, membuatnya sedikit terlonjak
“Inikah yang kau maksud menarik?” sambung Mikuo. Len mengangguk
“Aku juga melihatnya pagi ini di rumah,” tambah Len
“Siapa itu?” tanya Kaito
“Entahlah,” Len menggelengkan kepalanya
Len kembali menoleh ke cermin. Dia melihat anak lelaki misterius itu masih berdiri di sana dan mengisyaratkan Len untuk menghampirinya. Dengan langkah ragu, Len berjalan menghampiri cermin itu kembali menyentuh permukaannya. Len membayangkan akan menyentuh permukaan keras dan dingin seperti sebelumnya, tapi ternyata yang disentuhnya adalah zat tak padat yang mirip air. Hal itu membuat tangannya melesak masuk ke dalam cermin tua itu. Dengan spontan Len menariknya. “A-apa itu?!” serunya
“Ada apa Len?” tanya Kaito
“Coba letakkan tanganmu di cermin itu,” gumam Len
“Hm? Baiklah…” Kaito meletakkan telapak tangan kirinya di permukaan cermin itu. Dia pun mengalami hal yang sama dengan Len, tangan kirinya melesak masuk ke dalam cermin itu. “A-apa?!”
Mikuo, Miku, dan Rin mengamati bagaimana tangan Kaito masuk ke dalam cermin itu. Mereka bertiga hanya saling berpandangan dalam tatapan bingung.
“Kurasa ada sesuatu di balik sana,” perkataan Rin sepertinya menyuarakan apa yang ada di pikiran mereka berlima. Miku mengangguk, “Kurasa Rin benar,” katanya
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Kaito
“Masuk ke sana?” usul Rin
“Kau gila! Mana mungkin kita ke sana?!” seru Mikuo
“Kenapa tidak?” tanya Rin
“Kita tidak tahu apa yang ada di balik sana, kan?” Mikuo balik bertanya
“Justru karena tidak tahu, ya kita cari tahu!” Rin berkacak pinggang. “Kurasa di sana tidak akan ada hewan buas yang mengerikan,” sambungnya
“Kurasa Rin benar. Anak itu sepertinya mengajak kita ke sana,” kata Miku pelan sambil menunjuk anak lelaki misterius itu
Hening. Tak ada yang memberi tanggapan. Semuanya sibuk memerhatikan apa yang terpantul di cermin. Namun hasilnya nihil, perbedaan dari benda asli dan pantulan di cermin tua itu hanyalah anak lelaki misterius itu. Sisanya semuanya sama, meja kayu yang penuh debu, sofa empuk yang ditutupi kain putih kusam, bangku-bangku kecil, lemari-lemari kokoh yang berdebu disana-sini.
“Aku akan ke sana,” Len memecah keheningan
“Len?!! K-kau?!” Mikuo terkesiap mendengar pernyataan Len
“Ya, aku ingin tahu siapa dia,” jawab Len dengan mantap
“Aku ikut,” kata Rin dengan antusias
“Kalau begitu aku ikut juga!” kata Kaito
“Hhh… Apa boleh buat… Aku juga akan ikut,” Mikuo menghela nafas
“Aku juga!” Miku menganggukkan kepalanya
“Tidak, kau tidak boleh ikut!” kata Mikuo tegas
“Aku juga ingin ikut… Aku ingin pergi ke tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya,” Miku memainkan pita-pita di baju terusannya
“Tidak!”
“Tapi…”
“Biarkan saja Miku ikut. Kurasa tidak ada salahnya juga kan?” tanya Kaito santai
“T-tapi…” Mikuo melirik wajah Miku yang dipenuhi antusiasme. Rasanya dia tidak tega jika harus memadamkan antusiasme adik tersayangnya dengan satu kata. “Baiklah… Kau boleh ikut…”
“Yeaaah!! Terimakasih kak!” Miku memeluk erat Mikuo, sedangkan Mikuo hanya menepuk-nepuk punggung Miku ringan.
“Baiklah, siap?” Len memberi aba-aba. Semua mengangguk
“Ayo,”
.
.
Mereka berlima terjatuh di atas hamparan rumput hijau yang terasa empuk di bawah mereka. Masing-masing masih sibuk dengan diri mereka sendiri. Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki yang semakin mendekat. Len mencoba membuka matanya, namun sangat sulit entah karena apa. Satu-satunya hal yang dia tahu adalah tempat itu dipenuhi cahaya matahari yang menyilaukan sehingga membuat matanya harus beradaptasi terlebih dahulu.
“Hei, kau yakin mereka orangnya?” tanya suara baritone yang pasti dimiliki oleh seorang pria
“Yeah,” sahut suara lain
“Aku tidak percaya,”kata suara pertama dengan nada meremehkan
“Apa kau bilang—“
“Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar terus!” kata suara ketiga yang pasti dimiliki seorang anak gadis
“Hei, Rui, jangan dihentikan dulu. Ini semakin menarik!” kata suara keempat dengan nada jahil
“Cukuuuup!” gadis itu berteriak. Sesaat kemudian hening, tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. “Hei… kalian tidak apa-apa kan?” tanya si gadis
“Aku yakin mereka baik-baik saja,” suara keempat berkata sambil menusuk-nusuk pipi Kaito dengan jari telunjuknya yang dicat merah
“Ummhh… Kalian… siapa?” tanya Len lemah sambil mengucek matanya yang sakit
“Kami? Hahahaha kurasa lebih baik kujelaskan saat teman-temanmu sudah sepenuhnya sadar!” kata pemilik suara baritone
“Ummhh…” Pandangan Len mulai jelas, kini dia bisa melihat sosok-sosok yang tadi bertengkar di dekat mereka. Len melihat empat orang dengan umur berbeda-beda sedang mengelilingi mereka. Sosok pertama bertubuh tinggi dengan rambut berwarna hitam pekat, namun sebagian rambut di bagian samping wajahnya dicat merah senada dengan warna baju luarannya. Dia menggunakan aksesori yang terlihat seperti sabuk di kedua pergelangan tangan serta pergelangan kakinya sebuah. Dan sebuah sabuk merah meliliti pinggangnya. Baju luarannya yang berlengan panjang itu tidak dikancingkan, memperlihatkan baju berwarna hitam yang menutupi dadanya.
Kemudian sosok kedua adalah anak lelaki misterius yang dilihat Len dan teman-temannya tadi. Tapi sekarang Len dapat melihat sosoknya lebih jelas. Rambutnya yang hitam dibiarkan tergerai mencapai tengkuknya, matanya yang kuning memandang tajam, dan kulitnya seputih porselen. Kemeja hitam beraksen kuning yang dikenakannya berbeda di bagian lengannya—yang kanan berlengan panjang sedangkan yang kiri lengannya terpisah. Dasi putih melingkar rapi di lehernya. Celana abu-abu yang dikenakannya terlihat rapi ditambah dengan sabuk berwarna hitam-putih juga sepatu putih dengan sedikit aksen kuning
Lalu sosok ketiga adalah versi perempuan dari sosok kedua. Rambut mereka sama-sama hitam, namun rambut gadis ini memakai jepit untuk menahan poninya dan pita putih di bagian belakang kepalanya. Matanya juga yang berwarna kuning sama menusuknya dengan sosok kedua, juga kulitnya yang seputih porselen. Tapi gadis ini mengenakan baju putih tak berlengan yang bagian bawahnya berbentuk zig-zag serta vest tanpa lengan berwarna hitam dan pita putih terikat manis di kerahnya. Ditambah dengan rok abu-abu selutut dan celana hitam ketat juga ikat pinggang hitam-putih dan sepatu putih dengan sedikit aksen kuning
Sosok keempat sangat mirip dengan Kaito. Hanya warna rambut dan gaya berpakaiannya saja yang berbeda. Badannya tinggi dan bisa dikatakan kurus. Warna rambutnya yang merah serasi dengan mata dan syal yang melingkar di lehernya. Pakaiannya seperti mantel berbahan ringan berwarna putih dengan aksen merah dan kuning di beberapa bagian. Mantel itu sama sekali tidak dikancingkan, memperlihatkan kaos hitam ketat yang dikenakannya sebagai dalaman. Celana cokelatnya terlihat sangat pas di kakinya dilengkapi dengan ikat pinggang berwarna hitam polos dan sepatu berwarna putih dengan aksen merah.
Tapi ada satu hal yang menjadi kesamaan mereka. Earphone. Mereka semua menggunakan earphone, meskipun dengan berbagai warna dan ukuran. “Selamat datang di, Hyuponia,” kata mereka berempat
.
.
TO BE CONTINUED
TO CHAPTER IV: REFLECTIONS AND SHADOWS
.
Akhirnya chapter III selesai jugaa! Fyuuh… Saku ngerjainnya dengan penuh pengorbanan nih! (ngaco tuh *gaploked*) Gomen kalau updatenya bener-bener lama… -___- Aih, jadi ga enak sama Readers yang udah penasaran sama fic ini… Oh ya mohon maaf juga ya kalau banyak typo, penuh dengan OOCness, dan ceritanya aneh bin ga jelas. Thanks for all Readers! Baik yang ngereview ataupun yang hanya jadi Silent Readers! Saku seneng kalau ada orang yang mau baca fic Saku! ^u^
And, special thanks to: RIO ADITYA PERMANA a.k.a FUYUGAMI RYO!!! Thanks ya udah bantuin Saku bikin fic ini… Tanpa bantuanmu, fic ini ga akan jadi gini *lebay mode: ON*


*sesama bernuansa 'mirror' hehehe... :P*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar