28/08/10

PINTAQXIII, PINTAQ Terakhir ANGKLUNGXII di Salman Al Farisi

Wah, rasanya ga percaya aku dan temen-temen ANGKLUNGXII udah jadi kelas 9 lagi... Haaaah.... begitu denger kata "PINTAQ terakhir," semuanya langsung 'ngeh' kalau waktu kami di Salman hanya tinggal sebentar lagi. Apalagi PINTAQ dimulai hari ini.
Jangan lupa, ANGKLUNGXII juga harus nampilin sesuatu di hari terakhir PINTAQ, dan guru-guru bilang--ralat, nyuruh kami buat nampilin penampilang angklung yang ditampilin waktu Qiyamul Lail pertama di kelas 8. Tapi, ternyata latihannya ga bener terus....

Ah, semoga ANGKLUNGXII bisa nampilin sesuatu yang bagus dan berkesan di hati guru-guru, adik kelas, dan anggota ANGKLUNGXII sendiri. Dan ga malu-maluin angkatan... Good Luck ANGKLUNGXII...

Lomba Perkusi @Giant Pasteur 2

Kamis, 19 Agustus 2010
Kaki pegel-pegel semua gara gerakan 'wave' dan nyebelinnya, kelasku tuh adanya di lantai 2! Jadi harus bolak-balik ke lantai 1 terus... Haduuuh nyiksa banget tuh.... Nah, waktu latihannya pun teryata masih jauh dari kata bagus (apalagi waku gerakan 'tembak') yah, meskipun udah ada peningkatan sih dari kemarin... Ternyata, gara-gara gagal terus di gerakan 'tembak', akhirnya gerakan itu jadi dihapus. "Takut bikin ancur," kata Kang Tedi sambil senyam-senyum.

Jumat, 20 Agustus 2010
Pasti bakal capek banget deh hari ini! Soalnya selesai latihan perkusi, langsung buka bareng ANGKLUNGXII di BIP. Tapi, meskipun capek, aku seneng kok!
Anak-anak perkusi sibuk minta doa kesana-kesini. Pokoknya kami minta doa ke setiap temen seangkatan, ade kelas, atau guru yang ditemuin. Waktu latihan, ternyata Diva a.k.a Odiep ga bisa ikut, "Bang Odiepnya sakit," kata Sasya. Tapi Sasya juga nambahin, "Katanya Bang Odiep ga bakal ikut lomba." Begitu denger kata-katanya Sasya, semuanya langsung panik, termasuk guru pembimbing alias wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Pak Edi Junaedi a.k.a Om Ayah Edi. Udah gitu Ali, satunya-satunya laki-laki di tim perkusi selain Odiep ga iktu latihan gara-gara lomba kaligrafi yang diadain di Giant Pasteur juga... Haduuh... Pokoknya hari itu semuanya berdoa mati-matian buat hari lombanya.

Sabtu, 21 Agustus 2010
Semua anggota tim perkusi kumpul jam 8 di RMHR buat latihan terakhir. Tapi sayangnya latihan baru mulai sektira jam 9an. Setelah latihan sekitar setengah jam-an, Fara bilang, "Hayu atuh, kita beli krayon muka. Kemaren kan ga jadi beli," Jadi, aku dan Amira langsung pergi ke Togamas untuk nyari krayon muka. Tapi, sayangnya di Togamas ga ada krayon muka, alhasil aku dan Amira balik ke RMHR tanpa krayon muka di tangan (tapi ada buku Deep ditanganku)
Gara-gara ga ada di Togamas, kami mutusin untuk pergi ke Gramedia Merdeka sebelum jam 10 (soalnya jam 10 tuh mau latihan buat penampilan angkatan pas PINTAQXIII) Dan, tetererereeeeet! Dapet deh krayon mukanya! Harganya sih lumayan lah, Rp32.000, tapi masih lebih murah dari yang ada di Gunung Agung. Warnanya sama, ada hanya 6, tapi jauh lebih ukurannya kecil, dan harganya Rp60.000! Udah gitu kami langsung ke sekolah buat latihan angkatan.
Waktu latihan udah selesai kami minta doa sama bu kepala sekolah plus guru geografi kelas 9, Bu Evie Latifah. Terus kata Bu Evie, "Udah solat belum? Kalau belum, solat dulu atuh! Masa mau lomba ga solat?" Kami hanya senyum-senyum plus ngangguk-ngangguk. Setelah solat, kami sempet-sempetnya ngejailin Fara dengan cara pura-pura ninggalin dia. Ah, gitu deh... Pokoknya udah gitu kami langsung cepet-cepet ke Giant Pasteur. Pas di mobil, Sasya bilang ternyata Odiep bakal iktu lomba! YEEEEY!!!
Ternyata waktu nyampe sana, lombanya udah dimulai. Penampil pertama.... Wiiiiih! Kakak dari UNPAS! Keren, bersemangat, dan kompak bangeeet! Aduh, jadi minder deh... Nah, waktu peserta pertama tampil, kami dandan pake krayon muka di backstage. Dan pas udah selesai, dengan polosnya kami jalan-jalan di sekitar panggung (udah gitu diketawain sama anak-anak dari SD Bianglala). Terus peserta kedua entah dari mana (kalo ga salah dari SD Bianglala).... GA RAME!!! Itu sih gurunya aja yang riweuh! Jelek. Udah gitu.... peserta ketiga, SALMAN AL FARISI!!! Waktu tampil awalnya sedikit gugup dan takut salah, tapi lama-lama jadi seru. Dan ternyata yang dapet respon positif paling banyak dari penonton tuh SAF! Hohoho kita gituloooh.... Kemudian peserta ketiga dan seterusnya ga terlalu tau, soalnya kami sibuk ngehapus krayon muka.
Waktu pengumuman, bapak juri bilang, "Ya, kita mulai dari juara ketiga. Dengan poin 910, jatuh pada......" semua tegang
"SMP (apaaa gitu... lupa)" beberapa orang tepuk tangan
"Selanjutnya juara kedua dengan poin 940, adalah.............."
Kata Pak Asep Saeful Anshor a.k.a Kakak, "Jangan Salman lah. Salman mah juara 1 aja," aku hanya bilang "Amiiiin,"
"SD Bianglala!" lagi-lagi hanya beberapa orang yang tepuk tangan.
"Dan juara pertama, dengan poin 970, jatuh pada............"
Tiba-tiba Ima dengan polosnya dan kerasnya bilang, "Salman!"
Semua orang langsung ngeliat ke Ima, tapi Ima hanya senyam-senyum dengan muka dibuat se-inosen mungkin.
"Ya, juara pertama berada di pusat kota yah. Di Dago," kata Pak Juri
Awalnya kami semua ngira Darul Hikam, soalnya MC beberapa kali manggil Darul Hikam. Tapi Kakak udah tepuk tangan dengan suara keras ala Kak Anshor.
"Juara pertamanya adalah....." semua tegang. "SMP SALMAN AL FARISI!!!" semua tim perkusi SAF langsung teriak-teriak gaje sambil lompat-lompat plus tepuk tangan.
Terus aku bilang ke Bu Evie, "Wah, ternyata doanya Bu Evie manjur, bu!" Bu Evie hanya senyum-senyum.



Huwooooh! Seneng banget deh rasanya!!! XD

24/08/10

Behind the Mirror chapter: II

.
Summary: Apa kau tahu apa yang ada di balik cermin? Ketika kau tahu, bisakah kau mengingkarinya? CHAPTER II: REFLECTION: …kami hanyalah anak-anak biasa yang berharap bisa mengubah diri kami…
Disclaimer: Vocaloid belongs to Yamaha Corp.
.
BEHIND THE MIRROR
.
.
Aku ingin menjadi lebih kuat!
Aku ingin menjadi lebih hebat!
Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang kusayangi!
Aku ingin dunia melihatku!
.
Murasaki Sakura Presents:
BEHIND THE MIRROR
CHAPTER II: REFLECTION
…Siapakah yang ada di sana? Apakah itu aku?…
.
Dua orang anak tengah berusaha berlari di sebuah jalan yang dipenuhi oleh orang-orang yang berdesakan. Tangan mereka yang saling menggenggam membantu mereka agar tidak terpisahkan. Kedua anak itu tampak terengah-engah karena aktivitas mereka, terutama karena pasokan oksigen yang mereka dapat semakin menipis diantara kerumunan orang yang memenuhi jalan yang mereka lalui.
“Len, kita lewat jalan lain saja deh. Kalau kita di sini terus, bisa-bisa kita jadi gepeng!” kata salah seorang dari mereka yang bernama Rin
“Yeah, kurasa kau benar.” Len mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa melepas genggaman tangan mereka
“Aku tahu gang yang bisa dipakai untuk jalan pintas!” seru Rin
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kita pergi!” seru Len
Lalu kedua anak itu berusaha mencari jalan keluar di antara kerumunan orang itu. Akhirnya setelah beberapa menit berusaha, kedua anak kembar itu berhasil sampai di depan gang yang dimaksudkan oleh Rin. Lalu mereka berlari memasuki gang itu tanpa melepaskan genggaman tangan mereka.
.
.
Seorang pemuda kurus berambut pirang yang berpakaian penjaga abu-abu menatap mereka dengan pandangan tidak suka. Dia berdecih sebelum membukakan pintu gerbang pada dua orang anak kembar berambut pirang yang kemarin membuatnya malu di depan atasannya. Len tersenyum dan mengangguk padanya saat pemuda kurus bernama Leon itu membukakan gerbang untuk mereka.
“Wah, sepertinya kali ini dia tidak melupakan kita, ya kan, Len?” tanya Rin dengan nada mengejek
Len tidak menjawab pertanyaan Rin dan menyikut kakak kembarnya.
“Aduh, apa sih Len?” tanya Rin sambil mengusah-usap sikunya
“Miku dan Kak Mikuo sudah menunggu,” jawabnya, lalu menggamit tangan Rin
Rin menganggukkan kepalanya dan melepaskan genggaman tangan Len. Lalu dia berjalan di belakang Len. Setelah beberapa langkah dari gerbang utama, gadis berbando itu menolehkan kepalanya ke arah pos jaga dan melihat Leon tengah memandangi mereka dengan tatapan tidak suka. Rin menjulurkan lidahnya keluar dengan gaya mengejek pada Leon. Leon langsung tersentak dan meninggalkan pos jaganya. Rin hanya cekikikan mendapan reaksi seperti itu. Lalu gadis itu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi.
.
.
“Nona Miku dan Tuan Mikuo sudah menunggu Anda,” kata seorang pelayan pria berambut biru panjang dan berkacamata. “Silahkan ikuti saya,” tambahnya
Rin dan Len pun berjalan di belakang pelayan itu. Mereka bertiga berjalan menjauhi ruang perpustakaan dan ruang duduk pribadi Miku dan Mikuo yang terletak di bagian timur puri dan malah berjalan ke arah barat puri. Rin yang mulai bingung pun bertanya pada pelayang berkacamata itu, “Sebenarnya kita mau kemana, Taya?”
Pelayan berkacamata yang bernama Taya itu menghentikan langkahnya sejenak sebelum membalikkan wajahnya dan menjawab pertanyaan Rin, “Tuan Mikuo berpesan bahwa saya harus membawa Anda ataupun Tuan Kaito ke Taman Mawar kesukaan Nona Miku yang berada di sayap barat puri ini.”
“Kenapa?” tanya Len
“Saya sendiri tidak tahu. Tuan Mikuo hanya berpesan seperti itu.” Taya membetulkan letak kacamatanya yang sedikit merosot, lalu kembali membalikkan wajahnya ke depan. Kemudian dia pun melanjutkan langkahnya diikuti si kembar Kagamine.
.
.
Setelah berjalan melewati lorong panjang yang menghubungkan begitu banyak ruangan, mereka bertiga sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu oak yang kokoh. Di sebelah pintu itu, terdapat sebuah meja kecil serta kursi kecil yang ditempati oleh seorang pemuda berkacamata yang berpakaian penjaga. Namun, warnanya berbeda dari pakaian penjaga yang dikenakan penjaga puri yang sering dilihat Rin dan Len, warnanya hitam dengan aksen merah marun di beberapa bagian sedangkan pakaian penjaga biasa hanya berwarna abu-abu dengan aksen hijau tua di beberapa bagiannya. Pemuda itu tengah asik membaca buku yang ada di tangannya tanpa memerhatikan kami.
Taya berdehem. “Ehm,”
Sepertinya hal itu membuat konsentrasi pemuda itu terpecah, jadi dia menengadahkan kepalanya dari bukunya sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Selamat pagi, Ted.” sapa Taya pada pemuda itu
“Taya. Ada apa?” tanyanya singkat
“Aku membawa teman Tuan Mikuo dan Nona Miku.” jelas Taya sambil mengembangkan senyumnya
“Halo, aku Kagamine Rin! Ini kembaranku, Len!” sapa Rin
“Ya, halo. Aku Kasane Ted.” kata pemuda berambut merah itu sambil sekali lagi membetulkan letak kacamatanya
“Apa Sora belum kembali?” tanya Taya
“Belum. Bocah orange itu pasti bolos lagi.” Ted menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat kunciran rambutnya bergoyang ke kanan dan ke kiri
“Hhh… Dasar… kalau dia sudah kembali, bilang padanya Momo memanggilnya.” Taya ikut menggeleng-gelengkan kepalanya
“Ada lagi?” Ted mengangguk
“Tidak, terimakasih Ted,” Taya menepuk pundak pemuda yang lebih beberapa inchi darinya itu, membuat Ted sedikit mengernyit. Taya berbalik ke arah Rin dan Len yang memerhatikan percakapannya dan Ted dari tadi. “Silahkan Tuan dan Nona ikuti saya lagi,” katanya dengan senyum terbentuk di bibirnya. Lalu ketiga orang itu kembali melangkahkan kaki mereka setelah pintu oak yang kokoh itu dibukakan oleh Ted.
“Silahkan,” katanya
“Terimakasih,” kata Len, diikuti Rin yang mengangukkan kepalanya pada penjaga berambut merah itu.
.
Begitu melewati pintu oak itu, mereka bertiga disambut oleh sebuah patung pemuda yang menunggang kuda yang terbuat dari gips. Di depan patung itu terdapat sebuah bangku taman mungil yang diapit oleh dua semak bunga liar yang berwarna-warni. Kami memutari patung itu dan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu.
Tanaman yang dipotong seperti tembok menghiasi hampir seluruh pinggiran jalan setapak yang dilewati tiga orang itu. Kadang terdapat celah untuk orang keluar-masuk di antara tanaman itu. Tapi Taya yang memimpin perjalanan memutuskan untuk tidak berbelok ke arah celah-celah itu maupun ke cabang-cabang jalan setapak lain yang tak bisa lagi dihitung oleh Rin. Ketiga orang it uterus berjalan mengikuti jalan setapak lurus yang dari awal mereka pijak tanpa berbelok.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka bertiga sampai di depan sebuah gapura yang terbuat dari kayu yang dicat putih serta dirambati tanaman rambat yang berbunga warna-warni. Gapura itu ternyata berujung pada pagar kayu yang dicat putih. Di belakang pagar putih itu terdapat semak bunga liar yang terawat rapi.
“Silahkan ikuti saya,” ucap Taya sambil kembali menoleh ke arah kedua remaja berambut pirang itu
‘Dari tadi kami mengikutimu…’ kata Rin dalam hati
Setelah mengatakan hal itu, Taya membuka pagar kayu pendek yang ada di depan mereka dan mempersilahkan kedua remaja itu untuk masuk. Sebuah pohon besar ditanam di tengah-tengah taman kecil itu dan dibawahnya terdapat dua bangku taman panjang dan beberapa kursi kayu kecil yang dicat putih serta dua buah meja kayu panjang yang juga dicat putih. Kedua meja kayu panjang diatur sehingga diapit oleh bangku taman saling berhadapan. Sedangkan kursi-kursi kayu yang berukuran kecil diletakkan di dekat kedua bangku taman.
Dua orang yang duduk saling berhadapan di bangku taman tengah mengobrol santai. Salah satunya sedang bertopang dagu, sedangkan satunya lagi sedang memainkan ujung syalnya. Dan orang ketiga, atau si gadis sedang memetik beberapa bunga dari semak-semak yang ada di belakang pagar putih pembatas.
“Tuan Mikuo, saya datang bersama Tuan Len dan Nona Rin,” kata Taya sopan dengan badan membungkuk
“Ah, akhirnya kalian datang juga! Terimakasih, Taya,” sahut Mikuo yang langsung berdiri dari posisinya semula
Kedua remaja berambut pirang itu langsung berlari ke arah Mikuo setelah mengucapkan terimakasih pada pelayan yang telah mengantar mereka. Sedangkan pelayan berkacamata itu langsung pergi meninggalkan tuan dan nonanya bersama teman-temannya.
“Aku tidak percaya kalian telat lagi!” seru Miku
“Ah, jalanan benar-benar padat! Kami sampai susah berjalan!” kata Rin
“Ayolah, akui saja kalau ini adalah kebiasaan baru kalian!” kata Kaito bercanda
“Kaito, jalanan benar-benar padat! Lagi pula untuk apa telat dijadikan kebiasaan? Emang kami itu kau?” tanya Rin ketus sambil berkacak pinggang
“Hahahaha baiklah, maafkan aku.” Kaito menghampiri kedua remaja itu dan menepuk kepada mereka yang tertutupi rambut pirang
“Jadi, apa kakak menemukan kuncinya?” tanya Len pada Mikuo sekaligus untuk mengubah topik
“Coba tebak?” Mikuo membalikkan pertanyaannya sambil tersenyum jahil
“Kakak menemukannya?” tebak Rin
“Entahlah!” wajah Mikuo berubah lesu, disusul oleh wajah ketiga orang lainnya.
“Tapi aku menemukan ini!” seru Mikuo dengan seringai jahil di wajahnya sambil menunjukkan gantungan bulat yang penuh dengan kunci-kunci
“Horeeee! Kalau gitu kenapa kita ga langsung ke gudang?” seru Rin penuh semangat
“Ide bagus!” Mikuo mengangguk. “Ayo!”
.
.
Sebuah bangunan besar dari kayu bercat cokelat tua berdiri di hadapan lima orang itu. Di sisi kiri dan kanan bangunan itu terdapat dua buah pohon besar yang tidak berbuah maupun berbunga, dan di beberapa bagian dinding kayunya sudah ditumbuhi tanaman rambat yang berbunga ungu. Pintunya yang berukuran sangat besar digembok dan dirantai. Dengan santai Mikuo berjalan ke arah gembok itu sambil memainkan kunci-kunci yang bergemerincing di tangan kanannya. Keempat orang lainnya menyusul dengan langkah-langkah kecil di belakangnya.
Pemuda berambut aqua itu mencoba kunci pertama. Setelah diputar berulang kali, hasilnya gagal. Bagitu juga dengan kunci kedua, ketiga, dan keempat. Namun, pemuda berambut aqua itu berhasil pada percobaannya yang kelima kali. Kuncinya berputar diiringi suara klik pelan dan gembok pun terbuka. “Yes!” Mikuo berbisik. Mendengarnya, Kaito dan Len langsung menghampiri Mikuo dan membantu pemuda itu melepas rantai yang melilit gagang pintu itu.
Setelah beberapa detik, rantai berhasil tersingkir dan kini rantai itu teronggok begitu saja di samping pintu yang sudah terbuka. Mikuo tersenyum lebar memerhatikan hasil kerjanya, “Oke, kita masuk!” katanya dengan penuh semangat. Keempat temannya pun menganggukkan kepala mereka dan berjalan mengikuti Mikuo masuk ke bangunan yang digunakan sebagai gudang keluarga Hatsune itu.
.
.
Begitu berada di dalam, mereka langsung disambut oleh kegelapan yang ada di sana. Rin bergidik ngeri saat melihat sesuatu melesat dengan cepat diantara benda-benda yang ada di sana. “Len…” dia memeluk lengan Len yang ada di sebelahnya
“Tenang saja, Rin. Paling hanya tikus,” Len menoleh ke arah saudari kembarnya
“Tikus? Kuharap bukan.” Miku ikut-ikutan memeluk lengan Len
“Hei, kalian ini apa-apaan sih?” Kaito menaikkan sebelah alisnya saat melihat ke arah Rin, Len, dan Miku
“Kami takut…” kata Miku
“Kalian ya, aku tidak,” kata Len
“Hei Miku, bukankah kau kuminta membawa senter?” tanya Mikuo
“Ah iya, ada di sini,” Miku merogoh saku rok terusannya yang berwarna merah marun
“Ada! Tiga buah senter,” katanya sambil menyerahkan senter-senter itu ke tangan kakaknya
“Aku juga bawa senter!” kata Kaito sambil mengeluarkan sebuah senter berwarna biru tua dari saku celana jeansnya
“Baguslah, kalau begitu kita punya empat senter. Aku satu, Kaito satu, Len satu, dan kalian satu.” kata Mikuo sambil membagi-bagikan senter di tangannya
“Kita cari apa nih?” tanya Len
“Terserah, cari saja benda yang menurutmu menarik, lalu bawa kemari. Berhubung gudang ini sangat besar, jangan sampai tersesat ya.” jawab Mikuo. Keempat orang lainnya menganggukkan kepala mereka masing-masing
“Kita ketemu di sini lima belas menit lagi,” tambah Mikuo
“Baiklah,” Kaito menganggukkan kepalanya lagi, “Ayo mulai!” serunya
.
.
[Bagian Kaito]
Kaito berjalan ke arah rak-rak buku yang penuh dengan berbagai buku berdebu dan botol-botol berbentuk aneh. Senternya terus diarahkan ke atas dan ke arah depan, sedangkan matanya terus mengikuti arah cahaya senternya yang bisa dibilang cukup kecil. Tiba-tiba sesuatu melesat dan berputar-putar di dekat kakinya. “HUWAAAAA!!!” seru Kaito kaget. Lelaki berambut biru itu kehilangan keseimbangannya dan terjatuh menyenggol sebuah rak, menimbulkan bunyi ‘BRAK’ yang lumayan keras dan suara ‘KRAK’ serta ‘TRING’.
Dengan cepat Kaito kembali berdiri dan langsung mengarahkan senternya ke rak yang tadi disenggolnya—mengecek kalau-kalau ada benda yang pecah atau jatuh karenanya. Mengetahui semua baik-baik saja, Kaito membuang nafasnya lega. Tiba-tiba sebuah bola kaca menggelinding ke arah kaki Kaito dan membentur kakinya, menimbulkan suara ‘TUK’ pelan.
“Huh? Apa ini? Bola?” Kaito membungkuk dan mengambil bola kaca itu
Bola itu berukuran lebih kecil dari genggaman tangannya. Warnanya bening dan sedikit kusam karena tertutup debu. Kaito memutar-mutarkan bola kaca di tangannya itu sambil sesekali mengusapnya untuk membersihkan debu dan kotoran yang menempel di sana. Pemuda berambut biru itu menggenggam erat bola kaca itu. Kemudian membuka lagi genggaman tangannya. “Ternyata tidak serapuh yang kukira,” kata Kaito
Kaito mengantongi bola kaca itu dan kembali berjalan.
‘Semoga ada benda menarik,’
.
[Bagian Mikuo]
“Hatsyiiii!” suara bersin Mikuo memecah kesunyian di sana
“Ah, sial! Debunya banyak sekali!” rutuk Mikuo sambil menyeka hidungnya dengan tangan kemeja putihnya
Dia berjalan dengan tangan menutupi hidung, mencegah debu-debu yang berterbangan di sekitarnya untuk membuatnya bersin lagi. Mikuo mengedarkan pandangannya ke benda-benda yang ada di sekitarnya. Mayoritas dari benda-benda itu adalah meja dan kursi yang tertutup kain putih kusam serta beberapa perkakas berdebu yang sama sekali tidak menarik. Mikuo menyibak kain yang menutupi sebuah meja kayu. Debu berterbangan dari kain putih yang digunakan untuk menutupi meja itu.
“Hatsyiiii!” lagi-lagi Mikuo bersin
Senternya diarahkan ke atas meja itu. Dia berusaha mencari benda menarik yang mungkin ada di atas meja itu. Sayangnya tidak ada apapun di atas meja itu. Tapi Mikuo tidak patah semangat, dicarinya laci, lalu dibukanya laci-laci itu. Memang, sebagiannya terkunci, tapi dia mengobrak-abrik laci-laci yang tidak terkunci. “Apa di sini tidak ada benda yang menarik?” umpatnya.
Mikuo kembali berjalan ke depan dan mengecek laci-laci serta rak-rak, tapi sama sekali tidak menemukan satu hal pun yang menarik.
“Huh, lebih baik aku kembali saja,” kata Mikuo seraya menaruh tangan kirinya di pinggang, dan memutar-mutarkan senter yang ada di tangan kanannya.
.
[Bagian Miku dan Rin]
Cahaya senter yang menjadi satu-satunya penerang mereka terlihat sedikit gemetar.
“Miku, hentikan! Kau membuat cahayanya terlihat kabur!” kata Rin sambil menarik ujung baju terusan Miku
“M-maaf, Rin. Aku takut…” sahut Miku dengan suara bergetar
“Aku juga… Coba kalau Len ada di sini…” timpal Rin
“Sudahlah, lebih baik kita cari barang yang menarik!” usul Miku masih dengan suara yang sedikit bergetar
“Ide bagus,” Rin menganggukkan kepalanya. Mereka berdua pun berjalan masuk lebih dalam ke gudang itu.
.
Miku yang bertugas memegang senter berjalan dengan langkah kecil-kecil, dia takut dengan monster yang mungkin melompat keluar dari persembunyiannya dan memakan dirinya dan Rin. Kakinya yang tertutup kaus kaki putih selutut dan rok terusan selutut sedikit gemetar. Jari-jari lentiknya yang memegang senter pun belum berhenti bergetar.
Sedangkan Rin yang berada di belakangnya memegang erat ujung pita yang ada di bagian belakang baju terusan Miku. Tangannya sedikit gemetar, namun pandangannya tetap lurus ke depan, sambil sesekali mengamati apa yang ada di sekitarnya. Rin memasang telinganya baik-baik, mencoba mendengarkan seluruh bunyi mencurigakan yang mungkin berasal dari binatang pengerat yang ditakutinya atau dari serangga-serangga lain. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu.
“KYAAAAAAA!!” seru Rin. Gadis berbando pita itu jatuh terjengkang ke belakang
“Ada apa, Rin?!” tanya Miku panik sambil menyenteri lantai di sekitar Rin
“D-di sana…” Rin menunjuk belakang Miku dengan jari gemetar
“A-ada apa?” tanya Miku dengan suara bergetar
“Coba kau senteri,” kata Rin yang masih dalam keadaan terduduk. Miku menelan ludah, lalu mengangguk. Gadis berkucir dua itu berbalik dengan perlahan dan menggerakkan senternya kesana-kemari, mencoba mencari sesuatu yang membuat Rin sangat ketakutan.
“Ada apa sih?” tanya Miku tanpa menoleh ke belakang
“Coba di sekitar sana…” Rin mengarahkan tangan Miku yang memegang senter ke arah serong kanan atas. Tiba-tiba iris aqua Miku menangkap dua benda yang berada di rak paling atas. Dua benda itu adalah dua buah topeng. Yang satu berwarna putih polos tak bermotif dan satu lagi berwarna sebagian putih dan sebagian lagi hitam. Di bagian hitamnya terdapat garis meliuk berwarna merah pekat yang berawal dari bolongan untuk mata, seakan-akan itu adalah air mata darah. Sedangkan pada bagian putihnya terdapat warna biru yang dilukis berbentuk air mata tepat di bawah bolongan untuk mata. Dan sekilas topeng itu seperti menyeringai.
“Kurasa, kita bawa ini saja,” usul Miku dengan suara bergetar
“Kau bisa mengambilnya?” tanya Rin. Miku hanya mengangkat bahu. Lalu gadis berkucir dua itu berjinjit dan berusaha menggapai kedua topeng itu, tapi tidak berhasil.
“Kurasa kalau Kak Mikuo, pasti bisa.” kata Miku. Rin mengangguk. Kemudian dia mencari sesuatu yang dapat dijadikan pijakan.
“Ada! Kita bisa pakai kursi ini untuk pijakannya!” seru Rin sambil menarik sebuah kursi kayu mini
“Mungkin!” Miku tersenyum, lalu membantu Rin menaruh kursi itu di tempat yang tepat. Kemudian gadis berkucir dua itu menaiki kursi itu dan mengambil kedua topeng yang sempat mengejutkan mereka itu. “Rin, tangkap!” Miku melemparkan topeng-topeng itu pada Rin yang siap menangkapnya di bawah
“Hup! Yak, aku dapat!” seru Rin
“Kalau begitu, ayo kita kembali!” ajak Miku yang sudah turun dari kursi itu. Rin mengangguk dan menggandeng tangan Miku.
.
[Bagian Len]
Len berjalan dengan langkah kecil diantara furnitur-furnitur tua serta rak-rak yang dijejali berbagai benda. Matanya terus mencari barang menarik yang mungkin berada di rak-rak itu. Len mengamati setiap baris rak serta setiap furnitur yang dilewatinya, kalau-kalau ada barang menarik yang terselip di sana. Tapi nihil, dia tidak menemukan satu benda pun yang menarik perhatiannya. Len menghela nafasnya dan terus berjalan, membiarkan kakinya yang memimpin pencariannya.
Kakinya terus berjalan ke depan tanpa berhenti, hingga membuat Len harus mengingat jalan yang dilewatinya sebelumnya. Kakinya belum juga memutuskan untuk berhenti saat matanya melihat dinding kayu gudang itu. Len malah mempercepat langkahnya, karena dia merasa akan menemukan benda menarik di ujung gudang itu.
Saat wajahnya berada di depan dinding kayu, Len menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh kesana-kemari, mencari benda menarik yang mungkin ada di sana. Len mengarahkan senternya ke berbagai arah sambil terus mencari benda menarik. Tiba-tiba ekor matanya menangkap kilatan cahaya. Len langsung menoleh ke arah kilatan cahaya tersebut dan menemukan sebuah cermin besar yang hampir setengahnya tertutup sebuah kain putih yang kusam. ‘Ternyata hanya cermin…’ pikir Len. Dia menarik kain putih itu hingga kain itu jatuh ke lantai kayu dengan halus.
Len menatap pantulan dirinya di cermin itu. Sepertinya sedikit berbeda, wajahnya jadi lebih tembem, badannya jadi lebih pendek, dan matanya jadi berwarna kuning. Len mengucek matanya dengan tangan kirinya dan kembali melihat pantulan dirinya di cermin besar itu. Normal. Bocah lelaki dengan rambut pirang dan poni berantakan serta mata biru. ‘Mungkin hanya perasaanku saja,’ Len menghela nafasnya.
Sekali lagi Len melihat pantulan dirinya di cermin. Lagi-lagi terlihat bocah setingginya dengan rambut sedikit panjang yang tergerai dan poni berantakan persis miliknya, namun rambut bocah itu berwarna hitam. Dan lagi mata bocah itu yang berwarna kuning berbeda dari matanya yang sebiru sapphire. Kali ini bocah di balik cermin itu menyeringai ke arahnya.
“HUWAAAAAA!” teriak Len kaget sambil melemparkan senternya. Dia jatuh terduduk dengan mata masih terpaku pada cermin besar di depannya. Dengan terburu-buru diambilnya lagi senternya yang tadi terlempar. Lalu Len mengucek matanya sekali lagi dan melihat bayangannya di cermin sekali lagi. Aneh, lagi-lagi bayangannya kembali menjadi normal. Dengan jantung yang berdebar-debar, Len berjalan menuju pintu utama—tempat awal mereka berlima—berusaha meninggalkan cermin besar itu dengan cepat.
Tanpa disadarinya sesosok bayangan bocah berambut hitam tengah memerhatikannya dari balik cermin dengan mata kuningnya.
.
.
TO BE CONTINUED
TO CHAPTER III: ANOTHER WORLD
.
Yahha! Behind the Mirror chapter II akhirnya selesaaai!!! ^o^ Saku akui, Saku ngerjain fic ini sedikit terburu-buru, soalnya udah terlambat dari target yang Saku tentuin (maklum, minggu lalu Saku sakit, jadi sama sekali ga bisa nyentuh komputer). Nah, karena Saku ngerjainnya buru-buru, mohon maaf kalau banyak typo…

19/08/10

Guruku

Banyak yang bilang kalau guru yang menyenangkan itu adalah guru yang cara ngajarnya ga ngebosenin, bisa bercanda, asik diajak ngobrol, dan penganut aliran sersan alias serius tapi santai. Dan banyak juga yang bilang, kalau guru bimbel itu biasanya (atau harusnya) memenuhi syarat-syarat tadi. Tapi ternyata ga juga tuh.
Aku dan beberapa orang temanku baru aja membicarakan hal ini tadi pagi. Ternyata ada juga guru bimbel yang ngajar di sekolahku untuk ngegantiin guruku yang lagi cuti melahirkan (Bu Y) dan ga memenuhi syarat-syarat tadi. Padahal biasanya guru-guru di sekolahku gokil-gokil dan asik dijadikan teman.
Sebut aja guruku ini Pak M. Aku akui, awalnya Pak M ini aku anggap menyenangkan. Soalnya sering bercanda dan sering ngasih tips dan trik--apalagi mata pelajaran yang diajar sama Pak M ini adalah mata pelajaran yang umumbya ga disukai sama anak sekolah. Tapi, ada satu peraturan Pak M yang bikin aku ga nyaman: GA BOLEH NULIS WAKTU PAK M LAGI NGOMONG.
Awalnya, aku dan teman-teman memaklumi peraturan itu, soalnya Pak M sendiri ngasih alasan yang logis, yaitu: "Menulis bisa membuat konsentrasi kalian terpecah dan kalau kalian ga konsen dengerin bapak, bisa-bisa pelajaran ga ada yang masuk ke otak kalian." (kurang lebih kata-katanya gitu). Kami pun ga ada yang protes karena itu.
Tapi, lama-lama aku ngerasa ga nyaman. Soalnya temenku (sebut aja S) selalu ditegur, padahal dia sama sekali ga nulis--bahkan megang pensil pun engga. Awalnya sih tanggapan S hanya, "Apa sih pak? aku kan ga ngapa-ngapain", tapi makin lama (mungkin gara-gara kesal juga) nada bicara S makin menunjukkan rasa kesal. Yah, aku juga jadi ikutan merasa ga nyaman, terutama karena aku duduk di belakang S dan kadang Pak M suka memanggil S dengan nama depanku.
Temenku yang lain (sebut aja I) juga pernah cerita tentang ini. Katanya, "Masa aku dimarahin sama Pak M gara-gara gambar-gambar? Padahal kan justru itu cara aku buat ngertiin pelajaran!" Awalnya, aku hanya bilang kalau itu peraturan peraturannya Pak M, jadi mau ga mau harus diturutin. Tapi, yah, kalau mengingat temenku S atau temenku R dan N yang juga sering ditegur tanpa alasan--aku jadi merasa kurang suka sama Pak M, apalagi gara-gara tegurannya yang ga beralasan itu, aku malah jadi kehilangan konsentrasi.
Lama-kelamaan peraturan "GA BOLEH NULIS WAKTU PAK M LAGI NGOMONG" berubah jadi "GA BOLEH MEGANG PENSIL WAKTU PAK M LAGI NGOMONG". Soalnya aku sendiri pernah ditegur gara-gara megang pensil. Ceritanya gini, waktu itu Pak M lagi ngejelasin materi, terus Pak M bilang: "Nah, sekarang catet dulu!" ya udah, aku dan temen-temen sekelasku mulai ngeluarin alat tulis dan mencatat materi yang ada di papan tulis.
Beberapa menit kemudian, Pak M nanya, "Udah selesai nyatetnya?"
terus aku dan temen-temenku jawab, "Udah Pak..."
udah gitu Pak M ngelanjutin penjelasannya. Nah, waktu Pak M lagi ngomong, aku masih megang pensil (tapi sebenernya aku merhatiin).
Tiba-tiba Pak M teriak, "JANGAN ADA YANG NULIS!" katanya sambil mukul mejaku pake penggaris kayu.
Terus aku bilang, "Aku ga nulis kok pak!"
"Ya, jangan nulis!" kata Pak M sambil mukul mejaku pake penggaris kayu lagi. Udah gitu Pak M ngelanjutin materi lagi.
Ah, padahal aku kan merhatiin. Padahal aku kan hanya megang pensil doang. Emang megang pensil aja ga boleh ya? Makanya, jadi guru jangan suka berprasangka buruk dong!

Nah, berdasarkan pengalamanku itu (yang terulang sampai beberapa kali), aku jadi kurang suka sama Pak M. Padahal lumayan banyak juga anak di kelasku yang suka banget sama Pak M.
Kalau yang lain pengen supaya Pak M jadi guru tetap, aku dan beberapa orang temenku pengen Bu Y cepet-cepet balik dari cutinya dan ngajar lagi. Supaya kami ga diajar lagi sama Pak M.


(Note: Nama asli yang ada di sini hanya namaku, Nurul. Selebihnya bukan nama asli.)

01/08/10

Jejejejeeeeeeng...!!!

Ga penting sih, tapi penting.
Eh ga penting deng, pentingin aja kali ya...
Ga tau deh kayanya ga penting, tapi asa penting
Mungkin ga penting kali ya.... ya udah, pentingin aja!

Alah naon deui saya lagi gaje... -___-

Sebenernya hanya mau bilang: "JADI ANAK KELAS 9 ITU GA GAMPAAAANG! BANYAK TUGAS, BANYAK ULANGAN, PLUS STRESS!!! BERJUANGLAH DIRI SAYA SENDIRI!!!!" *semangat 45

Yah... pendek kata mulai dari awal bulan juli lalu, saya udah resmi jadi anak kelas 9. Semoga saya bisa dapet nem besar (GA PAKE CURANG), dapet SMA yg terbaik, sukses di acara PENSI sama PROSPEKXII... Love you ANGKLUNGXII... <3