Difference Between Fanservice and
Real Action
A Hey! Say! JUMP fanfic—Fanservice memang hal yang biasa, namun
bagaimanakah sebenarnya perasaan mereka tentang fanservice? Apalagi jika
menyangkut orang yang mereka sayangi. OkaJima and YamaChii.
All Hey! Say! JUMP’s members belongs to Kami-sama, their parents,
and Johnny’s Jimusho
Difference Between Fanservice and
Real Action belongs to Mochiraito
WARNING! Contains: OkaJima and YamaChii , Sho-ai NOT yaoi, OOCness, ABALness, GAJEness, LOCH(?)ness, EPIC FAIL romance.
This fanfiction is based on REAL
fanservices at JUMPing Tour 08-09 and Mochiraito’s IMAGINATION.
DON’T LIKE DON’T READ!
.
Okamoto Keito and Nakajima Yuto’s story
“Kau tahu, apalah artinya sebuah fanservice jika dibandingkan dengan
real action?”
“I AM A BOY!”
“Kuharap itu bukan fanservice.”
.
.
“Sousa
kirei kirei kirei na hodo,”
Konser
JUMPing Tour 08-09 masih terus berlanjut. Kali ini menampilkan Nakajima Yuto
yang menyanyikan lagu solonya, Uruwashi no Badgirl, ditemani dengan iringan
gitar yang dipetik sahabatnya,
Okamoto Keito.
“Ikusen
no toge wo kakushiteru yo...”
Suara
merdu Yuto masih mengalun bersama alunan suara gitar Keito. Mereka berdua
berjalan semakin dekat ke tengah panggung utama. Keito ikut menyanyikan
baris-baris terakhir lagu itu meskipun tahu penonton tak akan mendengar
suaranya tanpa kehadiran microphone.
Ia amat menikmati penampilan ini dan ia menoleh ke arah sahabatnya, Yuto.
“Kimi
wa,” ia sadar telunjuk Yuto
mengarah padanya saat mengatakan dua kata itu. “Uruwashi no Bad Girl!”
Dan
mereka berdua pun mengakhiri lagu itu.
.
(backstage)
Yuto
sibuk mengelap keringat yang mengucur deras dari dahi dan lehernya. Keito pun
melakukan hal yang sama namun kedua onyxnya tak bisa lepas dari teman segrupnya
yang satu itu.
“Okamoto-san,
douzo.” salah satu kru menawarkannya sebotol minuman
“Arigatou
gozaimasu.” ia mengambil botol itu dan tanpa pikir panjang langsung menenggak
isinya. Tatapannya tidak pernah terlepas dari sahabatnya, Yuto.
“Hoi
Keito, kalau tidak cepat-cepat ganti baju nanti tidak sempat lho!” seruan Yuto menyadarkan Keito dari lamunan
singkatnya. Keito hanya diam menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu.
“Dengar,” kata Yuto. Keito diam mendengarkan. Ah, tentu saja! Ini suara Yamada
yang sedang menyanyikan bagian terakhir dari lagu solonya, Perfume. Dan ia tahu
ia harus tampil lagi di lagu selanjutnya yang akan dibawakan Hey! Say! 7,
sub-grup dari Hey! Say! JUMP.
Tanpa
basa-basi lagi, Keito langsung mengambil baju yang sudah ditaruh di sebuah
gantungan dan mengganti setelan jaket dan celana panjang putih-birunya denga
sebuah kaus tanpa lengan berwarna hitam dan baju lain yang berwarna
kuning-ungu.
.
Suara
musik dan gemuruh suara penonton memenuhi pendengaran kesepuluh anggota Hey!
Say! JUMP yang sedang menyanyikan lagu mereka yang berjudul Bouken Rider.
Semangat masih tampak jelas di kesepuluh wajah tampan mereka, meskipun tak
dapat diingkari begitu banyak tetesan peluh yang tampak. Semangat untuk
mempersembahkan yang terbaik bagi fans-fans mereka masih berkobar kuat dalam
diri mereka.
“..Niji
wo tobikoete iku yo!” Mereka menggerakan tangan kanan mereka dalam gerakan
melingkar sambil menyanyikan kalimat itu. Senyum pun tak pernah mau lepas dari
bibir mereka.
“Taiyou
e, Let’s fly with sky rider!” Lompatan penuh semangat pun mengakhiri lagu itu.
Tak
lama terdengarlah bagian intro dari single pertama grup Hey! Say! 7, Hey!
Say! Penonton tak memalingkan wajah mereka barang sedetikpun dari panggung
tempat kesepuluh anggota boyband yang
sedang naik daun itu.
Pemuda
terjangkung di Hey! Say! 7—Yuto, menatap pemuda termungil di Hey! Say! 7—Yuuri.
Dan keduanya berjalan mendekat sambil merentangkan kedua tangan mereka
seakan-akan meminta pelukan dari lawannya. Tubuh mereka semakin mendekat dan
Yuto pun membungkuk, mendekatkan wajahnya pada wajah member Hey! Say! JUMP yang
lebih muda beberapa bulan darinya itu. Jeritan histeris penonton semakin
membahana menatap adegan itu. Tapi kedua pemuda itu segera menjauhkan tubuh
mereka dan tersenyum polos. Tentu saja itu hal yang biasa, namanya juga cuma fanservice. Tak ada satu pun yang
menyadari dua pasang onyx yang tengah mencuri-curi pandang kepada dua orang
itu. Kemudian mereka pun menyanyikan lagu Hey! Say! yang disambut meriah oleh
para penonton.
.
2 hours later
Kesepuluh
anggota Hey! Say! JUMP kini telah melepas kostum konser mereka dan menggantinya
dengan pakaian biasa. Rencananya mereka akan makan-makan untuk merayakan
suksesnya konser ini. Namun tampaknya mereka belum akan berangkat sebentar
lagi, masing-masing masih sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri.
Keito
terlihat sedang duduk di sebuah kursi dan tampaknya ia sedang sibuk dengan
keitainya—atau tampaknya ia ingin
terlihat sedang sibuk dengan keitainya. Ia hanya tidak ingin orang lain
tahu bahwa ia memerhatikan seseorang sedari tadi. Tentu saja, sedari tadi
sepasang onyxnya tak henti-hentinya mencuri-curi pandang ke arah sahabatnya, Yuto.
“Keito!
Sedang kirim mail ya?” tanya anggota
termuda Hey! Say! JUMP, Morimoto Ryutaro.
“Ah,
apa? Eh iya...” Keito buru-buru berpura-pura mengetikkan sesuatu.
“Uso...
Aku tahu kok dari tadi matamu melihat Yuto terus~” Ryutaro menusuk-nusuk pipi
Keito, “Ya kan~?”
“Chigau!”
pemuda yang lebih tua berusaha menepis telunjuk pemuda yang lebih muda.
“Hontou?
Pipimu memerah looh...” serangan pemuda bermarga Morimoto itu semakin
bertubi-tubi karena kali ini bukan hanya telunjuk tangan kanannya saja yang
menyerang pipi Keito, tapi telunjuk kirinya kini ikut andil dalam penyerangan
itu. “Tenang saja, aku tidak akan bilang siapa-siapa kok soal itu~”
“Urusai!”
Keito masih berusaha menepis dua telunjuk milik Ryutaro.
“Hahahahahaha...”
pemuda yang lebih muda dua tahun darinya itu pun tertawa melihat Keito yang
sudah jelas terlihat salah tingkah dan malu-malu. Sayangnya baik Keito maupun
Ryutaro tak ada yang menyadari sepasang onyx lain yang menatap mereka dan tak
lama bibir pemilik kedua onyx itu mengembangkan senyum pahit.
.
“Minna,
ikuzo!” seru Hikaru melemparkan
tinjunya ke udara dengan penuh semangat.
“Yooo!”
sahut beberapa anggota Hey! Say! JUMP tak kalah semangat dari anggota yang
bergigi gingsul itu.
“Aku
ke toilet dulu,” kata Yuto buru-buru sebelum berlari meninggalkan kesembilan
orang anggota segrupnya yang lainnya.
Keito
merapatkan mantelnya. Tangannya merogoh ke dalam saku mantel biru tuanya,
mencoba mencari eksistensi benda padat berbentuk persegi panjang—keitainya.
Tidak menemukan tanda-tanda keberadaan keitainya di saku kanan, Keito ganti
merogoh saku kirinya. Namun tampaknya keitainya itu memang tidak berada di saku
mantelnya.
“Keito,
doushita?” tanya Daiki.
“Sepertinya
keitaiku tertinggal di ruang ganti. Akan kuambil dulu.” dan pemuda bermarga
Okamoto itu berlari kembali ke ruang ganti mereka.
.
Pintu
ruang ganti Hey! Say! JUMP terbuka tanpa suara dengan mulus. Dengan sedikit
terburu-buru, Keito masuk ke dalam dan ia sedikit kaget mendapati lampu ruangan
itu masih menyala terang. Seingatnya orang terakhir yang keluar dari ruangan
ini, Yuya, sudah mematikan lampunya. Ia mengangkat bahunya dan mulai mencari
keitainya di meja-meja maupun kursi-kursi yang ada.
“Keito?”
Sebuah suara yang memanggil namanya membuat pemuda bermarga Okamoto itu menoleh
ke arah sumber suara. “Yuto?”
Sang
pemilik nama melemparkan cengiran yang biasa terpampang di bibir tipisnya namun
entah kenapa cengirannya itu tak tampak seperti biasanya, “Apa yang kau lakukan
di sini?”
“Aku
mencari keitaiku,” jawab Keito. “Kau sendiri?”
“Tidak
ada,” jawab pemuda jangkung itu
sekenanya. “Oh iya, keitaimu ada
di dekat tasku di sana,” telunjuk Yuto mengarah pada sebuah tas berukuran
sedang yang ditaruh di atas sebuah meja. Di sampingnya tergeletak keitai bercasing biru tua.
“Arigatou
gozaimasu,” kata Keito singkat tanpa menatap lawan biacaranya. Jujur saja ia
tak mampu menatap mata pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Ia yakin wajahnya
akan memanas bila ia menatap wajah Yuto, terutama tatapan tajam milik pemuda
itu. Ternyata Yuto pun melakukan hal yang sama, ia sama sekali tidak menatap
pemuda yang merupakan sahabatnya itu.
Ia hanya melempar pandang pada dinding ruangan tempat mereka berada.
Tangan
kanan Keito sudah menggenggam knop pintu, siap memutarnya ketika suara Yuto
kembali menghentikan langkahnya, “Kenapa kau tidak bersama Ryuu?”
Keito
tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menggenggam knop pintu itu
erat-erat. Ia kesal mendengar pertanyaan itu dilontarkan Yuto dengan nada yang
begitu datar—ah tidak, itu bukan nada yang datar tapi nada yang dingin.
Pemuda
yang lebih tua membalikkan tubuhnya, “Kenapa kau tidak bersama Chinen?”
balasnya ketus
Yuto
pun sama, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menundukkan kepalanya dan
menghela nafas keras-keras. “Kau marah melihat fanservice kami saat lagu Hey! Say! kan?”
Pemuda
bermarga Okamoto itu memalingkan wajahnya, “Iie,” jawabnya.
“Uso,”
pemuda yang lebih tinggi itu menghampiri lawan bicaranya lalu dengan perlahan
melingkarkan kedua tangan pada pundak pemuda yang lebih tua darinya. “Kau tahu,
apalah artinya sebuah fanservice jika
dibandingkan dengan real action?”
Keito tidak menjawab pertanyaan itu. Yuto menarik tubuh yang masih dalam
pelukannya itu menjauhi pintu.
“Kau
ingat kan saat kita berdua menyanyikan lagu Uruwashi no Bad Girl?” otak Keito
dengan cepat memproses memorinya saat ia dan Yuto menyanyikan lagu itu. Ia
masih ingat gemerlap lampu panggungnya, ia masih ingat gemuruh teriakan
penonton, ia masih ingat suara merdu Yuto. Dan ia masih ingat telunjuk Yuto
yang mengarah padanya.
“I
AM A BOY!” dengan kesal Keito membalikkan tubuhnya dan mengarahkan jempolnya ke
dadanya sendiri untuk memberi penekanan pada kalimat yang memang sengaja ia
katakan menggunakan bahasa Inggris.
“Aku
tahu kok...” Yuto mendaratkan sebuah ciuman singkat di dahi Keito, “Kalau
begitu bagaimana kalau lagunya kuubah saja jadi, ‘Kakkoi no Bad Boy’? Apa kau
suka?” sebuah cengiran iseng terkembang di bibir tipis Yuto.
“Baka,”
gumam pemuda yang lebih tua.
“Biarpun
baka, tapi kau tetap suka padaku kan?” Yuto semakin memperlebar cengirannya.
“Sejak
kapan cara bicaramu jadi seperti playboy?
Jangan bilang Takaki yang mengajarimu,” Keito menatap lawab bicaranya dengan
kesal.
“Ne?
Memang bukan kok...” jawab Yuto santai.
Kesunyian
menyelusup di antara mereka berdua. Masing-masing hanya terdiam tanpa saling
mempertemukan kedua pasang onyx mereka.
“Kau
tahu, aku juga kesal.” Kata Yuto tiba-tiba. Keito menatap lawan bicaranya tanpa
memberikan respon yang berarti dalam ekspresinya, “Aku kesal melihatmu selalu
bersama dengan Ryuu. Rasanya kalau dengan Ryuu kau selalu bisa tertawa lepas
dan bercanda dengan santai.”
“Apa
menurutmu begitu?” Yuto menganggukkan kepalanya kuat-kuat, “Kau tahu kan, aku
sudah menganggap Ryuu seperti adikku sendiri...”
“Tapi
tetap saja aku kesal!”
Keito
menundukkan kepalanya, “Memangnya kau pikir bagaimana perasaanku saat melihatmu
bersama Chinen—atau bahkan Raiya?” tanya Keito dengan suara kecil.
Kali
ini Yuto terdiam. Tapi kemudian sebuah senyuman lebar muncul di wajahnya dan ia
pun mempererat pelukannya pada pemuda yang lebih pendek darinya itu. “Hehehe...
Syukurlah... Berarti kita memang masih saling menyayangi ya?” Keito menatap
lawan bicaranya dan tersenyum tipis, “Kau benar.”
“Ah,
yang lain pasti sudah menunggu kita!” Keito berusaha melepaskan diri dari
pelukan Yuto
“Kau
benar.” Yuto melepaskan pelukannya dan mengambil tas yang masih ada di atas
meja, “Ne, Kei-chan, kau tahu tidak?”
“Nani?”
“Aku
senang saat kau memelukku di bagian JUMP Hyakushiki tadi. Apalagi saat kau
seperti tidak mau melepaskan pelukanmu!” wajah Keito memerah mengingat apa yang
ia lakukan saat konser tadi, “Kuharap itu bukan fanservice...” kata-kata Yuto kontan membuat wajah pemuda yang
lebih pendek semakin memerah
“Urusai!”
Yah
hal itu mengingatkan Keito tentang hubungannya dengan Yuto yang sudah tidak
bisa disebut sebagai sahabat lagi.
.
“Pantas
saja mereka berdua lama...” bisik Ryutaro sambil terkikik
“Sst...
jangan keras-keras baka!” Hikaru menjitak kepala pemuda yang lebih muda darinya
itu.
.
Yamada Ryosuke and Chinen Yuuri’s story
“Kalau begitu... apa kau membenciku?”
“Karena banyak sekali fanservice yang kau
berikan di konser tadi.”
“Memangnya kapan kita jadian?”
.
.
Penonton
berseru histeris melihat dua dari tiga member dengan tubuh terimut di Hey! Say!
JUMP muncul dengan kostum Yankumi-sensei dari Gokusen—siapa lagi kalau bukan
Arioka Daiki dan Chinen Yuuri. Kouta, Daiki, Yuya, maupun Yuuri memainkan
sebuah drama singkat yang penuh humor berbau dorama yang dibintangi Yuya,
Gokusen 3. Mereka mengucapkan dialog-dialog yang memang sudah mereka hafalkan
sebelumnya dan melakukan aksi-aksi panggung yang memang sudah tertera dalam skenario.
Seruan-seruan
penonton semakin menjadi ketika Yuuri menempatkan kedua tangannya pada kedua
bahu Yuya dan berjinjit. Kemudian semakin memajukan wajahnya sendiri mendekati
wajah pemuda yang lebih tua darinya. Tentu saja itu membuat mereka berdua
terlihat seperti akan berciuman. Tapi tentunya itu tidak akan menjadi ciuman
sungguhan—karena itu memang cuma skenario.
Yuya langsung memalingkan wajahnya yang sudah dihiasi tawa sembari mendorong
tubuh mungil Yuuri yang langsung ditangkap Daiki. Dan drama singkat itu pun
berlanjut semakin meriah dengan kedatangan Hikaru yang memerankan karakter Kinpachi-sensei
dan trio B.I. Shadow.
.
(backstage)
Ryosuke
sedang sibuk memainkan sebuah topi berbentuk sapi yang akan ia pakai saat
menyanyikan lagu selanjutnya. Ia mendengar dialog yang diucapkan teman-teman
segrupnya di panggung juga teriakan histeris penonton. Tidak perlu melihat
langsung pun, ia sudah tahu apa yang sedang terjadi di panggung. Tentu saja ia
bahkan sudah hafal setiap gerakan yang akan dilakukan teman-temannya di
panggung saat ini.
Pemuda
bermarga Yamada itu mengeratkan genggamannya pada topi di tangannya saat
mendengar teriakan histeris penonton. Ia memejamkan matanya sambil berusaha
berkonsentrasi untuk tidak memikirkan apa yang sedang terjadi di panggung. Tapi
itu sulit. “Tenang Ryosuke... Itu cuma skenario...”
gumamnya pada dirinya sendiri
“Yama-chan,
doushita?” sebuah tepukan ringan mendarat di pundak Ryosuke, ia kenal suara
itu.
“Nandemonai.
Mungkin hanya sedikit gugup.” ia menjawab pertanyaan itu sambil menggaruk
belakang lehernya yang tidak gatal
“Uso.
Mana mungkin kau gugup sampai segitunya,” sang penanya, Yuto, menunjuk topi
malang yang jadi korban cengkraman Ryosuke
“Daijoubu
dayo...” Ryosuke beranjak dari posisi duduknya dan langsung pergi meninggalkan
Yuto yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
.
“Dareka
no kotae janaku,”
Kalimat
itu dinyanyikan dengan merdu oleh Ryosuke dan Yuya. Yuto dan Keito mengambil
inisiatif dengan maju ke depan bersama dengan dua orang yang sedang bernyanyi
itu. Yuto dengan tingkah childishnya
menarik-narik lengan Yuya yang menanggapinya dengan senyuman. Sedangkan Keito
dengan santai merangkul pundak Ryosuke yang langsung dibalas dengan rangkulan
juga.
“karada
de kanjitai...”
Lagu
terus berlanjut hingga akhirnya kalimat terakhir pun meluncur mulus dari sepuluh
mulut pemuda tampan yang tergabung dalam satu grup boyband itu. Ryosuke tersenyum lebar mengakhiri lagu itu dengan
menunjukkan kedua tangannya yang berpose peace
pada penonton yang masih sibuk berteriak histeris.
Musik
pun berganti menjadi intro dari single
pertama grup Hey! Say! 7. Yuto dan Yuuri berjalan mendekat sambil merentangkan
tangan mereka seolah-olah akan berpelukan. Semakin dekat, semakin dekat,
semakin dekat, hingga akhirnya kedua tubuh mereka hanya berjarak beberapa inchi
saja. Yuto pun sudah menunduk dan Yuuri sedikit mendongakkan wajahnya—yang
otomatis membuat wajah mereka berdua semakin dekat. Kemudian keduanya segera
saling mejauhkan diri dengan senyuman terpampang di wajah mereka.
“Kimi
wa sono mama ga ichiban...” mereka berdua meredam jeritan-jeritan histeris fans
mereka dengan satu kalimat yang melantun mulus, “Say!” Dan sekali lagi Hey!
Say! JUMP pun menyihir para penonton untuk ikut bernyanyi dan bergoyang
mengikuti irama lagu mereka yang ceria.
.
3 hours later
Kesepuluh
pemuda tampan itu memang tinggal di satu rumah yang sama. Rumah itu tergolong
cukup besar dan mewah. Tentunya dengan lima kamar tidur, tiga kamar mandi,
ruang tengah yang nyaman, ruangan untuk menyimpan alat musik, dapur dan pantry yang keren, ruang makan yang
besar, dan halaman rumah yang luas. Keterbatasan kamar tidur membuat mereka
harus saling berbagi—satu kamar ditempati oleh dua orang.
Malam
itu di kamar yang ditempati Ryosuke dan Yuya, pemuda yang bermarga Yamada itu
sibuk mondar-mandir di depan tempat tidurnya. Yuya, yang sedang asyik
mendengarkan lagu dari iPodnya pun
akhirnya terusik juga dengan tingkah teman sekamarnya. “Yama-chan, daijoubu
ka?”
Sang
pemilik nama tak langsung merespon, ia terdiam dulu sejenak sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan pemuda yang lebih tua darinya itu, “E-eh, daijoubu desu...”
“Kalau
begitu duduk dan diamlah. Kau membuatku pusing tahu!”
“Gomen
ne...” Ryosuke pun mengikuti kata-kata teman sekamarnya dan mengambil tempat
duduk di atas sebuah single sofa
berwarna merah di kamar itu. Namun mengubah posisinya menjadi duduk tidaklah
mengurangi kegelisahan yang terpancar di wajah pemuda berpipi chubby itu—dan tampaknya onyx Yuya
melihat hal itu.
“Kau
lapar ya?” tanya Yuya
Ryosuke
menggeleng, “Kenapa tiba-tiba bertanya begitu? Bukannya kita tadi baru makan
yakiniku?”
“Satu;
biasanya kau terlihat gelisah seperti itu kalau kau lapar, dua; bukannya porsi
makanmu itu memang besar ya? Lihat saja pipimu!” Yuya mengakhiri jawabannya
dengan sedikit tawa sambil menunjuk pipi Ryosuke
“Urusai!
Aku sedang tidak lapar!” sergah Ryosuke dengan sedikit ketus sebelum ia bangkit
dari posisinya dan berjalan keluar kamar diiringi suara pintu terbanting cukup
keras.
“Lah,
kok malah dia yang marah?” gumam Yuya pada dirinya sendiri sebelum ia kembali menyibukkan
diri dengan iPodnya.
.
Pemuda
bermarga Yamada itu berjalan ke dapur untuk mengambil sebotol air dingin. Ia
menenggak air dingin itu dan menghela nafas. Ia kembali memikirkan konser JUMP-ing
Tour tadi. Otaknya terus memutar kejadian-kejadian yang paling tidak ingin
diingatnya. Ah, kenapa Yuuri harus banyak memberi fanservice sih? keluhnya dalam hati.
“Yama-chan?”
Ryosuke langsung membuka kedua kelopak matanya ketika mendengar seseorang
memanggil namanya
“Chii?”
“Kau
belum tidur?” tanya Yuuri
“Kau
bisa lihat sendiri, kan?” jawab Ryosuke dingin sambil mengangkat kedua bahunya
bersamaan
Yuuri
hanya terdiam mendengar jawaban yang dilontarkan Ryosuke. Ia menatap onyx lawan
bicaranya lekat-lekat. “Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku sejak tadi
sore? Apa aku punya salah padamu?” tanya pemuda yang lebih pendek
“Iie,”
jawab Ryosuke masih dengan nada yang dingin
“Kalau
aku tidak punya kesalahan apapun padamu, kenapa kau terus bersikap dingin
padaku—hanya padaku?” tanya pemuda bertubuh mungil itu lagi dengan mata yang
mulai berkaca-kaca.
Ryosuke
menggelengkan kepalanya ia sedikit panik melihat mata Yuuri yang berkaca-kaca, “A-aku...
hanya...”
“Kalau
begitu... apa kau membenciku?” bisik Yuuri memotong perkataan Ryosuke, setetes
bulir air mata sudah mengalir di pipinya. Melihat itu, Ryosuke semakin
kalang-kabut dan kata-kata yang hendak ia ucapkan pun seakan tertahan di
tenggorokannya.
“Gomen
ne...” pemuda yang lebih muda kembali berbisik, kali ini ia sudah tidak bisa
menahan air matanya lagi. Sungai-sungai air mata sudah membentuk jalurnya
sendiri di pipi pemuda bermarga Chinen itu.
Tanpa
diduga, jari telunjuk Ryosuke kini sedang berusaha menghapus bulir-bulir air
mata yang terus turun dari onyx Yuuri. “Sssh... Jangan menangis...” bisiknya
lembut
Sayangnya
tindakan yang dilakukan Ryosuke malah semakin memicu tangis Yuuri. Pemuda
mungil itu semakin terisak sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya ia
gunakan untuk menggosok kedua matanya yang masih mengeluarkan air mata. Ryosuke
semakin panik. Ia takut tangis Yuuri terdengar oleh penghuni rumah yang lain.
Jika mendengar suara tangis tentunya mereka akan penasaran dengan apa yang
terjadi dan datang ke sini kan? Ryosuke tentunya tak ingin hal seperti itu
terjadi. Apa yang akan ia katakan pada teman-temannya yang lain jika mereka
menanyakan alasan Yuuri menangis?
Ryosuke
hanya bisa memutar otaknyauntuk menghentikan tangis Yuuri yang semakin
mengeras. Refleks, tangannya langsung mendekap erat pemuda yang lebih muda
darinya itu sambil menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkannya. “Ssssh...
Sudah dong, jangan menangis lagi...”
Pemuda
bermarga Chinen itu langsung menenggelamkan
wajahnya yang sudah basah oleh air mata ke dada orang yang memeluknya.
Sedangkan Ryosuke, ia membiarkan t-shirt
biru muda yang sedang ia kenakan basah oleh air mata orang yang ada di
pelukannya. Tangan Yuuri beberapa kali memukul dada Ryosuke, kemudian meremas t-shirt yang dikenakan pemuda yang lebih
tua beberapa bulan darinya itu.
“Hiks...
Yama-chan wa... hiks... hidoi...” gumam Yuuri di sela-sela tangisnya. Sayangnya
gumaman itu masih terdengar oleh sang pemilik nama
“Doushite?”
tanyanya tanpa melonggarkan pelukannya
Butuh
waktu beberapa saat bagi Yuuri untuk menjawab pertanyaan itu. Ia mencoba
menghentikan tangisannya terlebih dahulu dan mengatur nafasnya. Pemuda bertubuh
mungil itu mencoba melepaskan diri dari pelukan Ryosuke dan menatap onyx orang
yang masih memeluknya.
“Kau
memperlakukanku dengan dingin dan membenciku.” Ryosuke terlihat hendak
mengatakan sesuatu, tetapi Yuuri memotongnya, “Lalu kau memperlakukanku dengan
sangat lembut.” Kali ini Ryosuke hanya terdiam menatap pemuda mungil yang kini
menundukkan kepalanya, “Kau membuatku sulit untuk melupakanmu, Yama-chan...”
Ryosuke
mempererat pelukannya kembali, “Kalau begitu jangan lupakan aku,”
“Eh?”
“Aku
tidak pernah membencimu kok,”
“Lalu
kenapa...”
“Aku
hanya kesal.” Kedua pemuda itu saling mengadu kedua pasang onyx mereka, “Karena
banyak sekali fanservice yang kau
berikan di konser tadi.”
“Kau...
cemburu?” tanya Yuuri. Ryosuke tidak menjawabnya, ia hanya membuang muka. Namun
Yuuri tahu apa maksudnya saat melihat rona kemerahan di wajah pemuda yang lebih
tua darinya itu.
“Aku
juga kok!” kata Yuuri tiba-tiba
“Maksudmu?”
“Aku
juga cemburu sekali! Sepertinya kau senang dirangkul Keito saat menyanyikan
lagu Bouken Rider.” Yuuri menusukkan jari telunjuknya ke dada Ryosuke
“Bukan
begitu... Kami kan hanya teman saja. Lagi pula kalau aku memang senang, kau mau
aku mati dicincang Yuto? Hahahahahaha...” Yuuri tersenyum menanggapi jawaban
Ryosuke, “Jadi, kita tidak putus kan?”
“Memangnya
kapan kita jadian?” tanya Yuuri dengan wajah polosnya
“Dasar
kau inii!” Ryosuke mencubi kedua pipi Yuuri keras-keras
“Iya...
iya... gomen... aku hanya bercanda...” kata pemuda bermarga Chinen itu sambil
mencoba melepaskan cubitan maut kekasihnya, “Tentu saja kita tidak putus,
baka!” Ryosuke tersenyum dan melepaskan cubitannya
“Pipiku
sakit...” rajuk Yuuri sambil memegangi pipinya yang memerah akibat dicubit oleh
Ryosuke
“Mana?
Sini kuobati...” tanpa aba-aba Ryosuke langsung mendaratkan bibirnya di kedua
pipi Yuuri, kontan tindakan itu semakin membuat kedua pipi pemuda itu memerah.
“Arigatou,
Yama-chan...”
.
“Hee...
ternyata begitu masalahnya... Berarti salahku juga dia kesal sendiri. Nanti aku
harus minta maaf padanya.” gumam Yuya pada dirinya sendiri sebelum meninggalkan
pintu dapur dan kembali ke kamarnya.
.
.